Masih Punya Kepodang dan Suvelir Kesayangan (Sebuah Renungan Pribadi)

Kutulis kisah  yang semrawut ini sekedar menyegarkan ketrampilanku menulis yang ternyata nyaris berantakan dalam tiga bulan terakhir akibat musibah yang sangat dahsyat pada 14 April yang lewat. Sampai sekarang kadang masih sulit menyadari kenyataan itu. Sungguh dahsyat menghempaskan diriku ke dalam kesepian dan kesendirian yang mencekam. Lebih-lebih di malam hari. Detik demi detik terasa panjang sekali. Kalau sudah terbangun, susah sekali memejamkan mata. Padahal rasanya berat untuk berpikir yang muluk-muluk. Jangankan berpikir, sekadar membaca-baca pun rasanya malas sekali. Yang paling mungkin hanyalah menikmati siaran radio dan kaset. Biasanya Radiks 99 atau Gajahmada “Radionya Orang Semarang” yang punya jam siaran hingga menjelang fajar.

Siapa pun boleh saja maido sambil menyarankan langkah-langkah rasional. Aku sendiri ingin segera mengurangi keletihan mentalku agar secepatnya mampu bekerja seperti yang sudah-sudah. Tetapi kegiatan yang beruntun setiap minggu selama seratus hari terakhir ternyata telah menguras tenaga dan pikiranku. Setelah musibah April itu kami pun menyelenggarakan tradisi membaca Yassin dan Tahlil selama tujuh hari penuh, kemudian berkemas mempersiapkan resepsi pernikahan gadis sulungku Prita Anggarini yang memang sudah dirancang Sabtu 7 Juli di sebuah gedung pilihan. Seminggu berikutnya berlangsung acara ngundhuh mantu di pihak keluarga besan, dan tepat seminggu kemudian memperingati 100 hari wafatnya istri tercinta. Lantas keesokan harinya kami bersantap siang di sebuah restoran untuk mewujudkan terima kasih kepada segenap panitia pernikahan.

Kegiatanku masih berlanjut dengan pernikahan seorang keponakan (putrinya kakak ipar) tanggal 28 Juli yang dengan sendirinya aku sendiri harus berada di barisan terdepan. Dan sepekan kemudian wajib menghadiri acara ngundhuh mantu di Ponorogo. Jadi, secara fisik rangkaian kegiatan itu baru berakhir Minggu 5 Agustus malam dengan keletihan yang memberat. Ternyata keletihan itu tak gampang disembuhkan dengan tidur, pijetan,  dan vitamin. Sebab yang sesungguhnya letih adalah batinku.

Saat membuka komputer dan berniat menulis kisah ini, tak ada kehendak yang berlebihan kecuali sekadar membangkitkan kembali semangatku. Sekonyol apa pun hasilnya harus kutulis menjadi sebuah prasasti kehidupanku sendiri, terlepas dari siapakah yang kelak membacanya.   Mungkin kukirimkan kepada sejawat Agus Maladi Irianto yang pernah rerasan tentang masalah kesepian. Mungkin juga sahabat Gunoto Saparie yang sering kutitipi naskah karangan ke Redaksi Wawasan. (Siapa tahu dia pun berani memuatnya sebagai cerpen terkonyol di rubrik yang dipegangnya. Tapi, jangan di rubrik “Kisah-kesah” yang aku sendiri amat malas menyimaknya.) Mungkin kukirimkan kepada adikku Tatik Basuki yang telah sekian belas tahun menikmati kesendiriannya sejak adik iparku Basuki wafat di tahun 1987 karena kanker berkepanjangan. Mungkin lain, kukirimkan buat adikku Musye Herawati Diah yang senasib dengan Tatik setelah ditinggal wafat mendadak iparku Suhadji di tahun 1995. Demikianlah takdir keluarga besar kami.  Dua adik ipar lelaki telah berpulang lebih dahulu, kemudian menyusul istriku  empat bulan yang lewat. Tentu saja segalanya harus dibaca sebagai suratan takdir. Sebab, tak seorang pun dari kami yang  mengerti jadwal kematian masing-masing.

Aku pun sadar sepenuhnya terhadap takdir tersebut dan sudah ikhlas melepas kepergian istri tercinta. Tapi wajarlah menyandang luka batin yang kesembuhannya tak cukup di tangan dokter dan perawat. Yang kurasakan saat ini semacam kecanggungan dan kesepian yang mencengkam. Itulah sebabnya belakangan kubikin bermacam kesibukan untuk mengusir sepi. Aku mengecat sendiri tembok, jendela,  dan pintu-pintu. Membongkar-bongkar taman halaman. Membenahi sangkar burung-burung kesayangan, dan sebagainya. Hampir segalanya kukerjakan sendirian. Sebab, sulungku Prita seharian di kantor, adiknya (Esti) bekerja di Cepu, dan si bungsu Tesa lebih banyak menghabiskan waktunya di kampus.

Kesibukan itu kurasakan nikmat dan menyegarkan. Tapi yang semacam itu mustahil dikerjakan di malam hari. Lantas kurasakan malam sebagai “penjara” yang mencengkam. Memang di awal malam muncul gairah kehidupan lantaran ada Mbak Prita dan Mas Tesa yang ramah. Tapi sebentar kemudian pada tenggelam di kamar masing-masing. Dan sepi pun menusuk-nusuk batinku. Dan pasti juga merayapi tidur mereka.

Saran banyak orang untuk makin rajin membaca, tekun mengaji, diseling menonton televisi atau sekali-sekali ke bioskop bukanlah agenda yang baru buatku. Tapi  pada batas-batas tertentu hanya kutemukan tembok-tembok kehidupan yang bisu. Dan kebisuan malam itulah yang sementara ini mencengkam batinku. Sampai kapan? Aku sendiri masih kesulitan menjawabnya. Akal dan nalarku menegaskan perlunya sikap perlawanan yang jantan. Namun batin atau emosinya masih berantakan.

Siapa pun yang tidak senasib boleh saja menyanggah dan membantah. Dan aku sendiri pantang menuntut belas kasihan. Harapanku hanyalah sekelumit pengertian terhadap kehendak melepas tekanan batin yang memberat untuk memperoleh kelapangan, walaupun kusadari sebagai tipuan semata. Artinya, kelapangan itu sangat bergantung pada diriku sendiri, sedangkan orang lain hanya bisa memandang dan membayangkan rumitnya persoalan. Namun, lebih baik aku merasa sedikit lapang ketimbang selalu kesumpekan. Masih beruntung bisa menulis, sehingga punya peluang menyalurkan gejolak batin sendiri. Ini penting lantaran aku merasa gagap mendongeng secara lisan. Mungkin kodratku sebagai lelaki memang berbeda dengan perempuan yang biasanya luwes berbisik-bisik. Dan nyatanya selama ini aku sendiri jarang berkisah kepada banyak orang, kecuali sekali-sekali menjawab pertanyaan yang (kubayangkan atau kuanggap) sekadar basa-basi atau kesantunan sosial. Biasanya jawabku rutin dan klasik seperti: alhamdulillah, baik, sehat, dan lancar. Apalagi yang lebih indah dari kata-kata seperti itu?

Kupikir, masih beruntung ada sahabat dan sejawat yang kadang mempertanyakan nasibku. Artinya, masih ada yang menaruh peduli meskipun mungkin hanya sebatas kesantunan sosial. Bagaimanapun, kesantunan sosial masih dibutuhkan sebagai kembang-kembang pergaulan. Kalau sampai terlupakan, alangkah kering kehidupan ini. Karena itulah perhatian siapa pun pantas disambut dengan senyuman. Biar sang jiwa bertambah segar dan sehat. Biar berumur panjang. Biar kelak tuntas tanggung jawabku terhadap anak-cucu, meskipun tak tahu pasti batas umurku. Yang jelas, sadarlah sekarang bukan hanya seorang ayah, melainkan magangan kakek yang sepantasnya menjadi panutan. Syukur-syukur bisa dibanggakan orang serumah, sanak, dan kerabat.

Lantas melintas tanyaku sendiri, apakah yang sekarang melekat padaku setelah menjauh dari urusan jabatan dan putus harapan melangkah ke sekolah doktor? Kupikir kepengaranganku adalah nikmat Gusti Allah yang masih bisa dibanggakan. Namun, saat ini butuh energi yang besar buat menata dan membangkitkan kembali semangatku. Ternyata butuh tempo yang panjang, padahal banyak urusan yang harus segera digarap. Dalam agenda harianku sudah tercatat urusan-urusanku dengan Dewan Kesenian Jawa Tengah, Ikatan Alumni Undip, Lurah Kembangarum, Yayasan Kelola  Surakarta, Penerbit Grasindo Jakarta, Indonesia Tera Magelang,  dan lain-lain. Yang rutin tentu saja urusanku di Fakultas. Ternyata hampir segalanya berurusan dengan tulis-menulis. Artinya, tak mungkin dirampungkan hanya dengan berbincang-bincang.

Di bulan Juni (yang masih dipadati warna perkabungan)  justru bisa menulis sebuah cerpen tujuh halaman. Kuserahkan naskah itu kepada sejawat Triyanto Triwikromo. Kemudian diterbitkan Suara Merdeka 1 Juli  kemarin. Judulnya “Sesorah untuk lelaki yang (masih) beristri” meskipun isinya tanpa sesorah. Intinya hanyalah kisah musibah yang  mendadak merampas  istri tersayang dari rangkulanku. Pada awalnya kisah kenangan itu dibikin iseng untuk mengusir sepi di malam-malam yang mencekam. Ternyata berkembang menjadi  sebuah cerpen yang aku sendiri mengheraninya. Dan pujian yang semarak datang juga dari sejumlah kawan dan sahabat. Mereka pun senang membayangkan diriku belum larut dalam kekalutan. Bahkan sejawat Pamusuk Eneste dari Penerbit Grasindo Jakarta sempat menulis pujian dan harapannya dalam selembar surat pribadi sembari mengingatkan kelanjutan program penulisan cerita rakyat   Nusantara yang sekian tahun silam aku pun sudah ikut menulisnya. Tentu saja aku pun senang karena masih ada orang yang menaruh perhatian padaku.

Dulu perhatian yang lugas selalu kuperoleh dari Nyonya yang sekarang sudah damai di alam yang jauh. Sebelum kepergiannya yang abadi, sering dia menggugat kemalasanku menulis. Katanya, kemalasan itu harus segera dilawan kalau masih kepengin namaku berkibar. Biarlah suaminya tanpa kursi jabatan dan gelar kehormatan, asalkan bisa menata rumah yang mapan menyongsong senja kehidupan yang sakinah. Dia pun yakin soal kehidupan duniawi tak perlu diresahkan sebab kalau dihitung-hitung sudah lebih dari yang dirancang untuk membangun suatu kelumrahan, walaupun tidak bermewahan. Jadi, yang lebih penting sekarang adalah mengisi senja kehidupan dengan amal dan ibadah, termasuk menulis yang serius. Apa lagi yang masih bisa dibanggakan orang serumah selain tulis-menulis, sedangkan sekolah doktor sudah terlanjur gugur dan jabatan formal pun semangkin jauh?

Sekarang makin terasa betapa besar makna keceriwisan dan keributan almarhumah. Memang dia ceriwis dan “keras” untuk berbagai masalah, bahkan kadang terlampau kencang sehingga mungkin terasa “berat” buat kami serumah. Tetapi buah keceriwisan itu ternyata kami nikmati  sekarang. Misalnya, kami terlatih menyisihkan perhatian buat orang banyak, khususnya  yang lemah, rendah, dan terdesak. Kami pun terlatih hidup tertib, bersih, hemat, dan cermat. Jadi, bersyukurlah kami serumah ditinggali amanat kehidupan yang luhur.

Tanpa berniat menyanjung “jasa” almarhumah semasa hayatnya, kami serumah merasakan betapa besar perhatian khalayak terhadap kepergiannya yang mendadak. Kami pun merasakan betapa indah kepergian itu, dan betapa gampang segalanya diperoleh untuk mewujudkan penghormatannya. Apa pun seperti sudah dipersiapkan  untuk keperluan itu. Misalnya, setelah rampung permandian jenazah kami sadar tak menyimpan tustel di rumah. Dan di saat aku mengingatkan kemungkinan mencari pinjaman ke mana pun, ndilalah muncul Mas Ichwan yang menenteng tustel dari sebuah seminar. Jadi, malam itu pun kami dapat merekam kenangan wajah almarhumah yang cantik dalam balutan kafan yang rapi. Bagi orang serumah, almarhumah tersenyum damai mengawali tidurnya yang kekal.

Masih banyak urusan lain yang segalanya sungguh dimudahkan Gusti Allah. Kalau ditulis satu per satu mungkin bisa ratusan halaman. Mungkin bisa menjadi sebuah novel kenangan. Pendeknya, kami pun lega dan lapang karena dapat mengantar almarhumah ke tidurnya yang abadi dengan segala kemudahan yang berlimpah. Sadarlah kami terhadap misteri kehidupan yang harus dipahami dengan kepasrahan yang lugas. Dan itu pun terasa hingga resepsi pernikahan Prita Anggarini 7 Juli yang lewat.

Rasa-rasanya tak ada hambatan apa pun sehingga kesyukuran kami serumah tak bisa dihitung dengan bilangan. Memang segala keperluan resepsi itu sudah dipersiapkan setahun lewat dan serba lebih dari perkiraan kebutuhannya. Tapi persiapan yang berlebihan itu ternyata tak menghapus kecemasan batinku. Harapan memperoleh kenikmatan acara itu benar-benar mencekam batinku. Selalu membayang pertanyaan, masih mampukah menghadapi realitas seandainya terjadi hambatan dan musibah? Kata orang, keberhasilan mantu biasanya diukur dari kelancaran dan kecukupannya. Soal kemewahan memang relatif, karena batas-batasnya tak pernah jelas. Tapi, apakah artinya sebuah kemewahan kalau di saat yang penting itu terjadi hambatan dan musibah?

Kisah-kisah yang sedih dari mana pun kadang membikin kecut hatiku. Pernah sebuah pernikahan tertunda  saat ijabnya pengantin lebih dari satu jam karena Petugas KUA kesasar jalannya. Pernah sebuah pesta terpaksa dipasangi ratusan lilin lantaran listrik PLN mendadak mati dan mesin dieselnya mogok. Pernah juga suatu resepsi pernikahan nyaris bubaran sebab sang pengantin terlambat hampir satu jam akibat sebuah kemacetan di jalan. Dan masih banyak lagi kisah getir yang menimbulkan kekhawatiran. Yang terpikir, hambatan dan musibah itu bisa terjadi setiap saat. Dan mungkin pula di luar batas-batas akal manusia.

Kata orang, musibah apa pun biasanya berkaitan dengan niat, laku, dan semangat pemilik hajat yang terbilang buram.  Mungkin orang itu menganggap enteng berurusan dengan sebuah upacara pernikahan yang sakral. Mungkin lebih mengandalkan hitungan akal ketimbang rasa dan kelumrahan. Mungkin juga malas mempertimbangkan adat dan tradisi. Dan masih banyak alasan lain. Lantas berkembang gagasan, apakah ukuran niat dan laku yang bersih untuk menyongsong sebuah hajat? Apakah syarat-syaratnya? Apa saja adatnya? Wajibkah puasa, misalnya? Haruskah menempuh laku tertentu? Apakah perlu meminta bantuan orang pintar atau sesepuh?

Pendek kata, kegelisahan itu sangat mencekam karena aku sadar mulai memasuki tahap baru di rentang perjalanan hidupku. Dengan mantu itulah aku benar-benar menjadi orang tua, bukan hanya seorang ayah. Aku mesti tampil dengan kepatutan yang pantas dibanggakan anak-anakku. Aku pun wajib menebus duka dan luka batin mereka setelah hancur berantakan ditinggalkan Bunda tercinta. Kalau acara resepsi mantu pun berantakan, alangkah sakit batin kami serumah. Alangkah parah derita batin kami sepanjang jalan.

Meskipun merasa berat untuk puasa Senin-Kamis misalnya, aku menjalani sendiri laku batin semampuku. Memohon kemudahan dan kelancaran, dijauhkan dari kesulitan dan hambatan agar berbuah kenikmatan yang indah. Pendeknya, aku sungguh tirakat. Dan syukurlah, kami serumah boleh tersenyum sejenak, karena acara mantu telah berlangsung lancar dan nikmat. Kalaupun masih ada kekurangan di sana-sini, secara keseluruhan (rasa-rasanya) boleh dibanggakan. Komentar kerabat dan sahabat terasa menyenangkan hati kami serumah.

Memang gebyarnya mantu yang tampak di mata orang banyak hanyalah resepsi  yang rata-rata cuma sekitar satu-dua jam semata. Tapi persiapan dan perjalanan ke sana ternyata sangat panjang dan melelahkan, lebih-lebih setelah ditinggalkan almarhumah tercinta dengan sangat mendadak. Kalau dulu setiap saat sibuk berembug soal berbagai rancangan, sejak musibah 14 April harus memutus sendiri hampir segala urusan rumah. Dan muncullah kecanggungan dan kesepian yang sulit dilawan dengan akal.

Lantas terbayanglah wajah adikku Tatik Basuki dan Musye Herawati Diah Suhadji yang luka hatinya seperti nasibku sekarang. Bahkan lebih parah karena waktu itu harus mengasuh bocahnya yang masih cilik-cilik. Melintas pula wajah ipar bungsuku Yulianti yang sudah empat tahun terpaksa “setengah sendirian” lantaran suaminya sulit diajak rembugan. Selama pisah rumah itu ia pun tinggal bersama kami, dan bocahnya yang lucu – Anzelia Indah Permana – telah menjadi anakku yang bungsu. Tapi belakangan terpaksa memisah dengan alasan pandangan sosial.

Bagi kami, Anzelia Indah Permana yang subur, lucu, dan serba gampang itu adalah kembang rumah kehidupan yang menggairahkan. Tawanya, tangisnya, ributnya, dan rewelnya adalah semarak dan gairah kehidupan kami serumah. Tapi keberadaan ibunya yang setengah sendirian itu diperdebatkan sanak-kerabat. Dan pada akhirnya kami pun sepakat menjauhi rerasan, gunjingan, dan pitenah orang. Jangan sampai membayang samar anggapan “yang bukan-bukan” terhadap diriku yang lelaki duda dan Yulianti yang setengah sendirian.

Begitulah rumitnya kehidupan. Ada celah-celah masalah yang sulit dijelaskan kepada khalayak, meskipun sebenarnya bukan persoalan yang relevan dengan orang banyak. Aku sendiri bisa saja mengabaikan pandangan sosial yang buram dengan alasan yang subjektif. Biarkan orang rerasan, toh sebatas memandang dari kejauhan. Apa pun pandangan mereka hanyalah sebuah wacana, sedangkan hakikat masalahnya berada dalam batinku sendiri. Namun kemudian berkembang kesadaran bahwa memper-timbangkan pandangan sosial barangkali langkah yang bijaksana.

Akhirnya kulepas mereka dengan keperihan batinku dan makin padatlah kesendirian dan kesepianku.

Jadi, benarlah kata orang bahwa kepergian seorang ibu biasanya meninggalkan luka batin yang parah. Sebab yang lepas adalah kodrat keramahan dan kehangatan. Aku sendiri mulai merasakan hal itu. Kadang aku bertanya, mampukah menciptakan kehangatan buat mereka bertiga kalau aku pun merasakan kehilangan Bunda? Kadang gagasanku meloncat-loncat jauh ke depan, Apa yang bisa kuperbuat kelak saat menghadapi kehamilan dan persalinan cucu-cucuku? Apa yang kelak bisa kupesankan seputar perawatan bayi, misalnya? Lantas kubantah sendiri, sisihkan dulu masalah yang jauh-jauh. Yang penting sekarang uruslah dirimu sendiri, anak-anakmu, dan rumahmu yang ramah.

Sekarang makin terasa kecanggunganku mengurus rumah tanpa seorang istri. Urusan-urusan yang tampaknya ringan seperti dapur dan cucian ternyata merepotkan pikiranku yang selama ini dimanjakan almarhumah. Canggung dan repot pun terasa dalam wilayah kelumrahan sosial seperti kondangan, layatan, atau persalinan yang adat-adatnya di tangan perempuan. Jadi, harap maklum kalau mutunya agak merendah, sebab yang penting segalanya harus berjalan lancar.

Seorang sejawat pernah secara iseng mempertanyakan kemungkinanku hendak merangkul pengganti almarhumah. Wah, pertanyaan itu ternyata sulit dijawab. Bahkan nyaris kubilang kebangeten dipertanyakan, sedangkan kepergian Bunda belum genap seratus hari. Tapi kusadari pikiran orang bermacam-macam. Dan pertanyaan semacam itu justru berangkat dari perhatiannya yang besar padaku. Katanya, kesendirian lelaki biasanya menyandang kerawanan. Kalau tak kukuh imannya gampang melenceng ke jalur maksiat. Sudut pandangnya sebagai seorang tokoh yang sering berkhotbah di masjid-masjid barangkali dapat dibenarkan. Tapi kurasakan pertanyaan itu masih sulit dijawab.

Secara iseng kubilang segalanya terserah takdir kehidupan. Kupikir belum tentu meringankan beban persoalan. Sebab, hadirnya seorang pribadi yang baru pastilah membawa masalah. Yang terbayang perempuan itu sudah terlanjur memiliki gaya hidup, sikap, perilaku, dan kebiasaan yang mapan sehingga penyesuaiannya bukan masalah yang gampang. Kalaupun aku bisa menerimanya dengan sejumlah alasan, pastilah anak-anakku menghadapi masalah tersendiri. Di samping itu akan muncullah urusan mertua, sanak kerabat, lingkungan, ketirian, pekerjaan, penghasilan, warisan, dan lain-lain. Karena itu pertimbangannya sangatlah rumit. Namun sahabatku berkeyakinan bahwa sebuah perkawinan biasanya lebih menjamin kenikmatan ketimbang kesendirian. Sebuah perkawinan yang sakinah dapat juga menjadi benteng yang tangguh terhadap godaan maksiat yang semangkin berlimpah di kota besar dengan sasaran kaum lelaki. Buktinya, pelacuran tersebar di mana-mana. Tinggal dipilih yang kelas rendah atau kelas mewah. Di luar pun makin berkembang pelacuran terselubung seperti panti pijat dan iklan kebugaran.

Kadang muncullah kerisianku sendiri dalam menghadapi beragam seloroh, humor, kelakar, dan komentar orang. Ada yang bilang lelaki umumnya gampang melupakan percintaan. Jadi, wajar-wajar sajalah memikirkan kemungkinan merangkul perempuan. Ketimbang sendirian, lebih baik punya kawan perjalanan. Syukur-syukur resikonya bisa diminimalkan.

Tapi ada juga yang menawarkan berbagai pertimbangan sambil setengah hatinya menganggap enteng harga kemaksiatan kaum lelaki.

Kupikir, apa pun pendapat orang harus ditanggapi dengan jurus dan siasat yang jitu. Pendeknya, harus dicari saat-saat yang tepat untuk mengiyakan, menolak, mengelak, menyanggah, membantah, atau sekedar menimbang-nimbang.

Yang penting keseharianku sekarang harus makin berkembang untuk menebus hutang-hutang profesiku yang terpaksa berantakan dalam sekian bulan terakhir. Dan aku pun yakin semangat itu akan segera berbuah, meskipun prosesnya pasti berkepanjangan dan senantiasa bermasalah. Ya, sesungguhnya kehidupan selalu bermasalah.

Apa pun yang terjadi harus dihadapi dengan semangat yang legawa dan kebijakan yang semangkin matang. Sebab siang-malam akan terus meluncur tanpa  tawar-menawar. Sekarang nikmatilah kesendirian dan kesepian itu justru sebagai gairah dan kembang kehidupan. Sebab sesungguhnya siapa pun menyandang kodrat kesendirian dan kesepian. Bahkan setiap orang sesungguhnya pribadi gelandangan. Jadi, kenapa menyerah kalah dicengkam kesendirian?

 

Senyumlah, Yudiono.

Rumahmu yang ramah adalah sarang kehidupan yang nyaman.

Selain anak-anak tersayang, masih punya sanak-kerabat yang

ramah dirangkul rerasan.

Masih punya kepodang, jalak, dan kutilang yang

selalu rindu uluran tangan.

Masih punya suvelir, melati, kantil, dan seribu kembang kesayangan yang

selalu butuh rawatan.

Dan masih ribuan agenda kegiatan yang

menantangmu di hari-hari mendatang. ***

 

(Semarang, 6-9 Agustus 2001)

 

Tulisan diterbitkan :
1. Wawasan
2. Buku kumpulan Cerpen “SESORAH UNTUK LELAKI YANG (MASIH) BERISTRI” oleh Yudiono KS

 

4 thoughts on “Masih Punya Kepodang dan Suvelir Kesayangan (Sebuah Renungan Pribadi)

  1. Tetap semangat, Pak Yudi. Masih ada hari esok. Coretan pena indah Pak Yudi ditunggu khasanah sastra Indonesia.

    (Gunoto Saparie)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Security Code * Time limit is exhausted. Please reload the CAPTCHA.