Siang itu wajahnya tampak sumringah. Bicaranya tetap renyah dan lancar. Senyum dan tawanya selalu cerah. Dan humornya terus berkembang. Bahkan lebih kocak dan liar, sehingga membikin kami tertawa lebar. Yang seperti itu memang tidak asing buat kami yang telah sekian tahun mengenalnya sebagai pribadi yang enerjik, optimistis, dinamis, dan luwes. Wajar kalau pimpinan Fakultas pernah mengaku menemukan sosok pribadi potensial yang kelak pantas memegang jabatan terpandang.
Kami terbiasa memanggilnya Jeng Atiek atau Mbak Atiek. Rasa-rasanya jarang yang menyapanya dengan Bu Atiek, kecuali mahasiswa dan karyawan kantor. Barangkali keluwesannya bergaul itulah yang membikin kami merasa pas menyebutnya dengan Jeng atau Mbak ketimbang Bu atau Ibu. Kami pun terbiasa memanggil suaminya dengan Mas Joko, bukan Oom Joko atau Pak Joko. Lelaki itu pun luwes bergaul, meskipun teramat sibuk sebagai manajer papan atas di sebuah perusahaan farmasi nasional terbesar. Profil jabatan itu tampak pada rumahnya yang tergolong megah, sedan mewah yang hampir setiap tahun berganti model, dan gaya hidup profesional yang mahal di mata kami.
Setelah Jeng Atiek lulus magister linguistik dengan sangat memuaskan lantas dipercaya Jurusan untuk mengurus proyek penelitian dari yang “kelas teri” dengan dana rutin fakultas sampai “kelas kakap” dengan anggaran Hibah Bersaing dan lain-lain. Segalanya boleh dibilang lancar, lantaran Jeng Atiek memang mampu bekerja mandiri. Mobilitasnya terjamin setiap saat karena tersedia sedan mewah yang dia sendiri terampil memegangnya. Kabar-kabar korupsinya nyaris tak terdengar lantaran segalanya sudah kecukupan dari suami tercinta. Dan dia pun selalu menegaskan niatnya bekerja sebagai ibadah setelah berbakti kepada seluruh rumah.
Sering kami menyaksikan Jeng Atiek montang-manting membereskan berbagai urusan dengan gayanya yang khas; tetap berwajah dan bersenyum cerah. Pernah juga kami mendengar keluhannya terhadap kinerja Jurusan dan Fakultas yang dibilang lamban dan birokratis. Barangkali pengaruh suaminya yang orang swasta itu telah merasuk ke dalam dirinya, sehingga cenderung tak sabar menyaksikan kinerja pegawai negeri. Tentu saja kami hanya bisa tertawa sambil memajang sejumlah dalih yang dirumit-rumitkan biar nampak etis dan ilmiah. Pada dasarnya kami pun sadar betapa repotnya menggerakkan semangat keswastaan di tengah tradisi dan mentalitas pegawai negri yang sudah mapan dan serba terbatas fasilitasnya. Kadang merasa prihatin juga membayangkan masa depan lembaga pendidikan yang harus bisa bergaya perusahaaan.
Kenapa baru sekarang universitas milik negara itu harus berubah menjadi swasta? Mampukah universitas itu mengemban fungsi ganda, mendidik dan mencari duit, sedangkan perusahaan negara yang jelas-jelas lembaga bisnis pun justru banyak yang mengaku rugi? Apakah andalan universitas selain bayaran dari mahasiswa? Rasanya terlalu jauh orang membayangkan sebuah universitas bisa menawarkan kerja sama yang hebat-hebat untuk penggalangan dana operasional. Rasanya sejumlah profesor dan doktor ekonomi pun bukan jaminan mahir berbisnis. Jadi, yang paling gampang justru berurusan dengan uang kuliah mahasiswa.
Tapi universitas negri pasti diprotes kalau memungut biaya yang sedikit berlebih. Alasan mereka, universitas negri sudah ditanggung pemerintah. Kalaupun sekarang harus berkemas, memang butuh tempo yang panjang. Lantas berkembang seloroh, jangan-jangan kelak para dosen lebih suka menggarap proyek-proyek ketimbang kotbah di ruang-ruang kuliah.
Dan masih banyak pendapat yang berkembang di forum diskusi, seminar, perbincangan, dan rapat-rapat. Tapi sepertinya tak ada pilihan lain kecuali mengiyakan kebijakan nasional itu dengan setengah jalan. Kalau sang rektor pun tak sanggup “berkata tidak”, apa pula yang bisa diucapkan lapisan bawah? Kami sendiri mesti mengiyakannya dengan kesadaran penuh sebagai sekrup lembut di jaringan sistem mesin pendidikan yang sangat besar dan rumit.
Makanya kami merasa beruntung memiliki Jeng Atiek yang sering diibaratkan minyak pelumas bagi mesin Jurusan yang akan terus menggelinding dengan segala hambatan dan kesulitannya. Tapi belakangan ini kami mendengar Jeng Atiek sering mengeluhkan kondisi fisiknya yang semakin melemah. Ada yang melihat dia pernah nyaris pingsan di akhir suatu kuliah. Lantas ada yang rerasan, jangan-jangan lantaran kami terlalu banyak membebankan tugas padanya. Sedangkan yang lain tetap optimis pada potensi Jeng Atiek dengan anggapan keluhan itu hnayalah selingan kehidupan. Ada juga yang sempat mengatakabn soal keluhan itu sebagai bukti kesungguhan Jeng Atiek mengemban profesinya.
Tapi beragam komentar itu lantas berubah menjadi keprihatinan yang padat dan memberat setelah terdengar kabar Jeng Atiek harus dirawat intensif lantaran kasus penyakitnya dianggap sangat menantang ilmu kedokteran. Trombositnya cenderung menghilang dengan sebab-sebab yang belum bisa dirumuskan secara ilmiah. Kata dokter, sebulan terakhir ini trombositnya hanya sekitar 30-40, padahal angka 200 dianggap kebutuhan minimal. Meskipun sudah lima kali transfusi darah dengan teknologi mutakhir ternyata belum tampak tanda-tandanya yang menggembirakan. Tentu saja kami yang sehari-hari berurusan dengan novel, cerpen, puisi, komposisi, semantik, sintaksis, antropologi, dan sejenisnya sungguh tidak mampu memahaminya secara detil.
Dan siang itu trenyuh juga hati saya mendengar komentar Jeng Atiek tentang dirinya sendiri.
“Kalau teori sastra punya teori resepsi, linguistik punya teori pelesapan, ternyata tubuhku menyimpan teori penggerogotan. Hampir sama to artinya? Pokoknya yang bermakna hilang, luluh, luntur. Coba bayangkan, darah kok menghilang tanpa sebab. Mungkin diserap vampire.”
“Ah, jangan mikir yang aneh-aneh. Orang wajib ikhtiar dan usaha. Saya yakin masih ada secercah harapan.”
“Betul, harapan adalah kodrat kehidupan. Tapi apa yang terjadi di ujung-ujungnya harapan? Tak lain dari kepasrahan. Dan tidak mustahil kalau pada akhirnya setiap orang akan sampai pada kodratnya untuk luluh dan lenyap kembali ke rangkulan bumi. Jadi, sekarang aku sendiri cuma bisa pasrah. Kalau dokter-dokter pun masih kebingungan, apa lagi yang bisa kita sendiri lakukan?”
Saya pun terdiam, karena Mas Joko yang tampan dan gagah seperti Bratasena itu menyahutnya perlahan.
“Tapi kita sudah tak kurang-kurang usahanya. Barusan aku telpon teman di Singapura. Besok dia kasih kabarnya. Sabarlah.”
“Kapan to aku tidak sabaran? Tapi yang penting apa kamu yakin Singapura itu segala-galanya?”
“Ya, siapa tahu kamu memang harus berobat ke sana dan kembali pulang dengan semangat baru. Kita mesti berjuang, dong.”
“Ya, sudah kalau itu memang putusanmu. Tapi ngapain mesti jauh-jauh? Mbok sudah di sini saja. Kalau memang takdirnya sembuh, ya sembuh. Kalau takdirnya gagal, ya sudah. Mati. Lantas Mas Joko jadi duda. Tapi tak usah sedih, wong ada yang sudah berpengalaman.”
Berkata demikian itu sambil mengarahkan senyumnya ke wajahku, sehingga saya pun merasa perlu bicara dengan maksud iseng belaka.
“Jadi duda itu sungguh tak nyaman. Serba repot. Urus rumah, urus perut, mikir kerjaan, mikir kelumrahan sosial, mikir anggaran, dan lagi kesepian. Kalau siang boleh dibilang serba gampang. Tapi bayangkan kalau sudah larut malam, hujan, dingin, kesel, sendirian, dan mata tak ngantuk-ngantuk. Wah, rasanya seperti di penjara. Padahal belum pernah ke sana. Dan tak kepengin, lho.”
“Makanya segera saja cari pendamping. Sudah berapa tahun musibah itu? Tiga tahun ya? Kalau serius, kami punya calon. Tak baik lelaki sendirian berkepanjangan.”
Saya pun tersenyum sambil mengingat-ingat sejumlah sahabat yang pernah mengatakan niat luhurnya seperti Jeng Atiek. Semuanya bilang manfaat pernikahan itu jauh lebih hebat ketimbang kesendirian. Dan sebelum saya sendiri sempat merangkum ujaran, terdengar sambungan Jeng Atiek dengan nada dan irama yang bersungguh-sungguh.
“Janda itu setengah baya, belum genap lima puluh. Lakinya meninggal kecelakaan mobil lima tahun yang lewat. Orangnya santri, luwes, semampai, kuning, supel, dan mandiri. Saat ini pimpinan cabang bank swasta yang terpandang di Asia. Anaknya semata wayang sudah semester tiga di Psikologi. Pernah dia bilang kalau nikah lagi semata-mata niatnya ibadah buat anaknya. Malahan pernah juga kepengin suami dosen. Katanya dosen itu banyak amalnya, karena mendidik banyak orang, tak sempat korupsi, dan banyak yang panjang umurnya karena cenderung santai. Waktu itu saya pikir-pikir kok sepadan dengan senior di jurusan saya. Maksud saya, siapa lagi kalau bukan panjenengan.”
Dan kembali saya harus terdiam, karena Mas Joko sudah menimpalinya dengan gaya yang kocak.
“Atiek memang betul. Objektif. Independen. Tanpa prasangka. Kalau memang serius, saya senang sekali menjadi jembatannya. Biar panjenengan bisa melewati punggung saya, lalu ketemu dengan perempuan itu, kemudian diskusi, seminar, dialog, simposium, sarasehan, dan akhirnya ambil putusan untuk mamayu hayuning rumah katresnan. Wah, sekali-sekali dong saya puitis. Yang jelas, saya pun mendukung. Kalau perlu sekarang juga saya kontak dia biar ke sini. Alasan sih gampang. Iya, to? Oke?”
Lagi-lagi saya hanya bisa tersenyum menyadari niat luhur dan seloroh mereka yang lugas dan lurus-lurus. Sungguh niat mereka itu bagus dan sepantasnya dihormati. Sebab memang benar kesendirian lelaki itu cenderung lebih banyak suramnya ketimbang cerahnya. Tanpa merujuk teori dan sumber-sumber pustaka mana pun saya bisa tegaskan pendapat itu dengan bertolak dari lelakon pribadi. Hampir tiga tahun saya harus mengurus kehidupan dengan cara saya sendiri setelah istri tercinta berpulang mendadak dalam sebuah musibah perjalanan. Sekarang dua gadisku sudah mengikuti suami masing-masing, sehingga tinggal ragil lelaki yang masih serumah.
Meskipun saya sendir iterus mencoba memberi makna kesendrian itu dengan berbagai kegiatan yang pantas dibanggakan, ternyata di celah-celahnya tetap saja muncul kesepian dan kenelangsaan batin. Jadi, kalau pandangan orang terkesan saya ini pribadi yang tegar bertahan, barangkali itulah pandangan yang samar, sebab di baliknya tetap saja merasa terkapar dan mesti terus-menerus merangkak berjuang menggapai sejuta harapan. Dan soal pernikahan itu sudah sering kukatakan kepada banyak sanak dan kerabat bahwa pernikahan di umur-umur lanjutan bukan masalah yang sederhana. Mungkin saya sendirilah yang merumit-rumitkan persoalan, sedangkan orang lain ternyata bisa menganggapnya gampangan. Mungkin benar demikian dan saya pun berhak menentukan pendapat saya sendiri.
Lantas saya tegaskan kepada Mas Joko dan Jeng Atiek bahwa tawaran itu sungguh pantas dipertimbangkan, sedangkan soal teknisnya bisa dirembug kapan-kapan. Waktu itu niat saya hanyalah membikin lapang hati mereka yang pasti sedang dalam kesempitan dan keresahan yang memadat. Nyatanya Jeng Atiek pun tersenyum lebar dan Mas Joko merangkul saya dengan kehangatan yang rapat.
Kemudian perbincangan masih berlanjut ke banyak arah yang aneh-aneh. Ada-ada saja yang dipertanyakan Jeng Atiek. Urusan rumah, lingkungan, kelumrahan sosial, karang-mengarang, kebugaran, kepartaian, pensiunan, selingkuhan, perbukuan, dan macam-macam. Terkesan Jeng Atiek kepengin mengerti banyak masalah kehidupan, termasuk problem kesendirian lelaki dan aroma perempuan yang saya sendiri merasa kerepotan menjawabnya. Lantas saya janjikan kapan-kapan spesial mendongeng soal itu untuk Mas Joko.
Seluruh adegan itu masih segar dalam ingatan saya di saat mendengar rerasan kawan-kawan di kantor Jurusan seputar kondisi Jeng Atiek yang makin melemah. Bahkan ada yang bilang Jeng Atiek sudah berpamitan dengan suami dan anak-anaknya. Tapi kepada orang lain selalu saja dia melepas senyum untuk menahan ketegaran dan harapan.
Siang itu juga mereka sepakat ke rumah sakit dengan cara masing-masing. Saya sendiri terpaksa belakangan karena harus bertugas di ruang kuliah. Tapi tak lama kemudian saya pun bergegas setelah membaca SMS yang menegaskan gawatnya kondisi Jeng Atiek. Sampai di sana ternyata sudah banyak yang merubung dan memadati kamarnya. Jeng Atiek terkulai lemah dengan napas terpatah-patah, meskipun sudah dibantu tabung oksigen. Wajahnya memucat, matanya merapat, dan bibirnya yang indah itu sedikit terbuka, seolah hendak berpamitan dengan siapa pun. Saya sendiri terpaku dirangkul Mas Joko yang terisak pelan. Sulit sekali saya hendak mengungkapkan sentimen pribadi kalau teringat dua hari kemarin masih bercanda dengan gayanya yang kocak seputar kesendirian lelaki dan aroma wewangi perempuan. Sulit benar saya hendak melukiskan pengalaman batin kami serumah di saat menerima musibah kematian yang sangat mendadak tiga tahun yang silam.
Perlahan saya merangkul Edo dan Dea yang terisak lembut di samping ibunya. Kemudian saya pamitan keluar karena merasa kehabisan sedih dan sentimen. Lantas saya pandangi langit kelabu yang menaburkan gerimis lembut dan terbayanglah lukisan klasik taburan kembang dan senandung bidadari untuk siapa pun yang gugur di medan Kurusetra. Saya pun membatin sendirian, apakah Jeng Atiek harus segera bertabur kembang dan senandung bidadari? Jawabnya ternyata larut di celah seribu langkah kami yang memberat ke kamar perawatan intensif.
Saat itu terbayanglah kesaksian petugas yang terlambat melayani Jeng Atiek ke kamar mandi, sehingga terjatuh sendirian. Mungkin sekali terjadi pendarahan di syaraf-syaraf otaknya yang selama ini cerdas gemilang. Dan kalau kesadaran pun sudah menghilang, apa lagi yang bisa diharapkan?
Semuanya hanya bisa menanti dengan keresahan masing-masing. Dan di saat itulah sempat merayap rerasan lirih-lirih seputar firasat-firasat kehidupan yang ternyata tidak selalu bisa dijelaskan dengan kuliah, ceramah, dan seminar-seminar.
Mas Agus teringat gaya Jeng Atiek di saat menyerahkan uang penelitian sambil berbisik kemungkinan itulah urusannnya yang terakhir. Mas Herman teringat janjinya kepada Jeng Atiek untuk segera menggarap proposal peneltian Pemilu mendatang. Mas Mujid mengaku pernah mendengar kisah Jeng Atiek bermimpi dirangkul ibunya yang sudah lama berpulang, sedangkan Bu Niken teringat usulan berpiknik ke Bali yang selalu diucapkan Jeng Atiek dengan logat Jawa sehingga berbunyi Mbali. Yang kalau dilancarkan berbunyi “kembali” yang artinya pulang.
Dari Bu Dewi sempat terdengar samar kisah hilangnya cincin kawin yang selalu melingkar di jari manisnya yang lentik. Yang lain teringat senandung favoritnya “Sebelum Kau Pergi” yang biasanya dilantunkan Tety Kadi di kaset-kaset Tembang Kenangan.
Dan masih banyak rerasan yang berjatuhan di ruang tunggu ketika berlangsung adegan yang pungkasan. Ternyata malam itu adalah kesaksian kami yang hanya bisa ngungun membisu mendengar kepastian takdir Jeng Atiek yang telah sampai ke detik janjinya kepada Sang Pemilik Kehidupan. Malam itu kami pun mesti ikhlas melepas perjalanan panjang seorang sahabat dan rekan sekerja yang jejak langkahnya memang pantas disayang dan dikenang.
Sampai kapan, kami pun tak pernah paham.***
(Semarang, Ramadhan 1424 H)
Tulisan diterbitkan :
1. Wawasan
2. Buku kumpulan Cerpen “SESORAH UNTUK LELAKI YANG (MASIH) BERISTRI” oleh Yudiono KS