Mencintai Itu Berarti Rela Melepaskannya Pergi

Sempat berdebat sama istri gara-gara ada status fesbuk yang berbunyi ‘mencintai itu tidak menyakiti.’

Spontan istri protes keras, “Papa selama ini sering mbentak-mbentak Mama. Papa nggak mencintai Mama lagi ya?”

Sekilas pikiranku melayang ke zaman ketika masih anak-anak.

Aku masih ingat dulu Bapak suka nylentik telinga atau nyabet pantat memakai sulak kalo anak-anaknya susah diatur, susah disuruh mandi, atau pun susah disuruh belajar. Bapak memang orang yang keras, maklum beliau seorang Guru sehingga kedisiplinan selalu menjadi pedomannya.

Aku berusaha membandingkan status fesbuk itu dengan kejadian dulu, “Apa Bapak dulu nggak sayang aku ya?”

Bapak sekarang sudah renta, 66 tahun lebih. Bapak yang sekarang sudah berbeda. Bapak tidak pernah nylentik atau nyabet lagi. Anak-anaknya juga sudah menikah dan hidup dengan keluarganya masing-masing. Ada yang jadi dokter. Ada yang jadi insinyur. Ada yang jadi akunting. Pasti Bapak bahagia melihat anak-anaknya sudah mandiri dan hidup berkeluarga.

Kalau Ibu berbeda dengan Bapak. Ibu lebih kalem dan tidak pernah nylentik dan nyabet seperti Bapak. Bahkan aku jarang melihat Ibu marah. Makanya anak-anaknya lebih dekat dan akrab dengan Ibu.

Tapi sekarang tiba-tiba aku merindukan slentikan dan sabetan Bapak, saat ini yang sudah tua dan sakit-sakitan.

Aku tahu Bapak sebenarnya sayang. Bapak ingin anak-anaknya disiplin dalam hal makan, mandi, dan belajar. Bapak mementingkan masa depan anak-anaknya. Karena aku sekarang juga merasakannya sendiri mempunyai anak kecil yang susah disuruh makan ataupun mandi.

Aku juga merindukan Ibu dengan suaranya yang lemah lembut dan tidak pernah membentak. Ibu yang kuingat dulu hanya menangis diam ketika Bapak memarahinya. Bapak memang dulu sering marah dan membuat Ibu menangis, tapi apakah itu berarti Bapak tidak mencintai Ibu? I don’t think so.

Setiap pasangan mempunyai gaya mereka sendiri dalam hidup berumahtangga. Tidak ada rumah tangga yang berdiri tanpa ada marah dan emosi. Asalkan setiap akhir perselisihan bisa membuat masing-masing pasangan lebih instropeksi diri dan menjadi lebih baik. Aku melihatnya sebagai suatu proses dalam mengarungi bahtera kehidupan.

Sakit hati dan tersinggung memang tidak bisa dihindari. Namun dengan penyelesaian yang baik dan rasa kasih sayang, pasti suatu masalah bisa diatasi bersama tanpa harus lari ke pintu perceraian. Di sini kata kasih sayang sengaja aku tandai huruf tebal, karena itu faktor yang sangat penting.

Akhirnya kembali ke manajemen konflik dan melihat peran masing-masing pasangan. Bagaimana menyelesaikan masalah tanpa membuat masalah yang baru. Bagaimana sang istri berusaha mematuhi suami, dan sebaliknya sang suami berusaha mengerti keinginan istri. It’s not easy, man. Butuh jam terbang tinggi untuk berlatih dan membangun rumah tangga yang baik. Aku pun mengakuinya.

Jadi sepertinya aku harus membuat status fesbuk balasan, “mencintai itu berarti rela melepaskannya pergi.”

Karena itu lah pasti yang dirasakan Bapak dan Ibu sekarang. Mereka pasti merindukan anak-anaknya yang ada di kota lain, pulau lain, bahkan benua lain. Mereka pasti menangis rindu. Sama seperti aku sekarang sedang menangis merindukan Bapak dan Ibu.

Wah, bos sudah datang. Nanti disambung lagi ya…

 

 

2 thoughts on “Mencintai Itu Berarti Rela Melepaskannya Pergi

  1. its mean, mencintai boleh menyakiti ya.. waduh.. medheni. iso KDRT. klo merelakannya pergi, berarti hidup sendiri – sendiri dong.. simbok kendedes tambah mumet je malahan

  2. Kalo Simbok kendedes bilang,

    “mencintai itu membuatnya bahagia”

    Jangan pernah bilang kalau kamu mencintai, jika hanya ingin menyakitinya, membuatnya menangis dengan segala kelakuan dan ingin meninggalkannya. Mencintai itu rela untuk melepaskannya, jika ia memang telah menemukan kebahagiaannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Security Code * Time limit is exhausted. Please reload the CAPTCHA.