Antara Cinta, Pengorbanan dan Gender

Setiap kali Asih dan suaminya beradu argumen, selalu saja ujung – ujungnya masalah duit dan nyambung ke gender.  Selalu saja Asih kepenthog dismash masalah uang oleh suaminya sendiri. Betapa pernikahan itu seolah elok di awalnya, ketika pertama pacaran, semua hal elok dilihat, namun ketika masuk di dalam pernikahan,  begitu njelimet dijalaninya. Cinta saja sudah basi dan terlalu klise untuk alasannya. Apalagi apabila suaminya sudah kadung percaya diri punya banyak uang, sedangkan sang isteri hanya seorang ibu rumah tangga. Tak jarang Asih merasa tertekan, apabila suami sudah bertindak semaunya sendiri, tidak memberi kesempatan untuk memberi masukkan pendapat untuk suaminya. Pokoknya menurut Asoi (suaminya), Saya ini pria mapan dan berduit. Kamu tidak bisa berkutik dengan segala tindakanku. Kapan saja kita pisah, aku siap. Dan aku mampu membeli wanita.

Bagaimana menurut ajaran agama, jika sudah berkeluarga, apakah harta yang dicari suami, itu hanya hak suami ataukah istri boleh mengaturnya juga karena sudah termasuk harta bersama??

Masalah yang terjadi adalah Asih hanya ingin mengkoreksi atas perbuatan suami, agar lebih hati-hati menjaga perkataan kepada orang lain. “mas, mbok yo nanti kedepannya ngga usah sesumbar dengan gampang menjanjikan ngasih HP ke orang lain.” Suami bermaksud memberikan HP ke saudaranya, tapi Asih tidak menyukai sikap suaminya yang asal kasih aja, tanpa mempertimbangkan, bahwa Asih juga sedang butuh HP, karena HP yang dipakinya sudah tidak enak, baterenya drop. Hanya tentang Gadget kok buntutnya panjang sampai pisah ranjang, Asoi ngga peduli anak, ngga peduli isteri, pokoke seneng-seneng dewe, kerjaan sehabis pulang kantor tidak ada acara kumpul bercengkrama bersama keluarga, nongkrong bersama teman-temannya adalah hobinya. Suaminya kadang suka memaksakan kehendak Asih. Dengan dalih, isteri tidak mau di atur. Si Asoi (suaminya) bilang, “kalau tidak mau menurut ya sudah, tidak usah minta uang bulanan ke aku, cari uang sendiri, kok mau minta uang bonus tahunanku segala.”

Begitu wanita (terutama hal ini Asih yang tidak bekerja) merasa sangat dipojokkan sekali posisinya. Serba disudutkan. Coba tanya pak Ustadz ya. Asoi, selama di dalam pernikahan, harta yang diterima suami dari jerih payahnya, apakah itu haram dan bukan hak isteri untuk mengaturnya?

Asih seperti dibungkam pada saat itu, Tidak ada kekuatan nominal (baca:financial) dari dirinya. Ia hanya seorang ibu rumah tangga biasa. Disini sangat jelas terlihat, bahwa kedudukan gender di rumah tangga tidak setara. Uang lah yang berkuasa. Pada saat itu, rasanya ia hanya ingin menyelamatkan anak-anak dan menjadi wanita mandiri, seperti pada saat ia belum menikah, yakni bekerja kantoran. Ia rasanya menjadi malas menomor satukan mengurus suaminya, ia merasa jurang ketidakcocokan itu semakin terbuka. Setiap pertengkaran yang terjadi, ia menjadi trauma, menginginkan  perpisahan sedang kondisinya adalah seorang ibu rumah tangga, atau wanita tidak bekerja di kantor. Serba dilema.

Ia merasa, selama pernikahannya, ia mengorbankan diri menjadi wanita tidak bekerja, istri yang mengurus segala keperluan rumah tangga, mengurus suami dan anaknya,mengikuti kemana suaminya bertugas, bekerja. Setiap pagi jam 3.30 ia harus terbangun dari tidurnya, membunuh rasa ngantuknya untuk menyiapkan sarapan suami dan anaknya agar tetap sehat dan sarapan dirumah ,melawan rasa capek seharian berkutik dengan anak-anak dan kegiatan rumah tagga, berteman kesepian karena suaminya harus ditempatkan jauh dari pulau dimana sanak saudara tinggal. Semuanya serba pengorbanan.

Belum lagi, jika diruntut mundur dari hal-hal yang pernah terjadi, Asih harus berkorban demi jarak jauh yang ia lakoni pada saat ia mengandung, melahirkan, belum lagi suaminya berulah menyakiti dirinya ketika itu mereka berjauhan, yakni si suami selingkuh dengan wanita lain, padahal Asih pada saat itu harus mengurus kedua anak perempuannya yang masih bayi, sedang anak bungsunya sedang sakit. Ohh Tuhan.. keadilan macam apa ini  yang diterima oleh Asih…

Cinta, Pengorbanan dan Gender….

Hey perempuan, mungkin tak cukup menikah dengan cinta saja. Sebaiknya anda berhati-hati. Di dalam sebuah pernikahan suami punya kewajiban mencari nafkah untuk anak isterinya, itu baru namanya kewajiban, men! Itu baru namanya anda pria yang berTanggungjawab, men! Isteri mencari nafkah, itu wajar, Ia membantu mencari nafkah untuk keluarga. Isteri tidak bekerja, itu pun syah. Itu berarti pilihan hidupnya, itu pengorbanannya untuk anak dan suaminya. Lalu mengapa anda masih saja mengancam tentang uang untuk isteri anda??

Hey lelaki, Jika anda sudah memutuskan menikahi seorang wanita, please.. jangan pernah berniat, kok apalagi sampai melakukan, untuk  menyakitinya, yea,, menyakiti isteri anda. Sejauh pernikahan itu berjalan, cobalah anda hitung, berapa banyak pengorbanan isteri sebagai wanita yang mendampingi hidup anda..? Mulai dari pada saat ia harus memutuskan untuk mengikuti kerja suaminya, berpindah pindah kota, mengandung anak anda dengan beban beratnya selama 9bulan, berjihad dengan taruhan nyawanya saat melahirkan anak-anak anda, rela menomor 2,3,4,5.. kan dirinya sendiri, setelah anda, dan anak-anda. Bahkan ia sudah tidak memiliki “me time” pada saat harus berkutat dengan urusan rumah tangga yang tiada hentinya, menidurkan anak-anak, bergadang saat bayi anda menangis, sakit,… menyiapkan segala keperluan suaminya dari pagi buta sampai malam hari..

Maka, sebagai suami, sudah layaknya anda memuliakan isteri anda, membahagiakannya.. sebesar pengorbanannya untuk anda. Apakah masih tega anda bilang, “Jangan minta uangku lagi, cari uang sendiri.” JIka sampai seperti itu, sebaiknya anda kembalikan dia sebaik-baiknya kepada keadaan sebelum ia menikah. Biarkan ia menemukan kebahagiaannya, menjadi wanita yang mandiri dan lebih bahagia.

To all woman in the world.. Ibu kandungku, I miss you mom. You are so great mom; working mom. Dan untuk Ibu mertuaku, yang seorang ibu rumah tangga.. aku menjadi sapertimu saat ini Bu, Insyaalloh keinginkanku kuat, ketika anak-anakku nanti besar, doakan aku agar aku  menjadi Ibu bekerja, menjadi lebih mandiri. Semoga anak2 & Suami menghargai pengorbanan ini. That’s way I know, why you cry..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Security Code * Time limit is exhausted. Please reload the CAPTCHA.