Gadis itu bertanya,
Sudah dua bulan tak ada hujan sama sekali.
Kapan mereka akan turun lagi?
Lalu ibunya menyahut:
Tanya saja pada rumput yang bergoyang.
Keluarlah gadis tersebut ke taman depan rumahnya dan berjongkok di hadapan hamparan hijau yang tersenyum menyambutnya. Ia pun mengajukan pertanyaannya.
Tak lama, setitik air menyentuh ujung kepalanya dan tetes – tetes air mulai membasahi di setiap helai batang rumput dalam pandangannya. Lalu Gadis itu bersuka, menari dalam hujan.
Ia semakin banyak mengajukan pertanyaan kepada rerumputan.
Bagaimana agar dapat bertemu dengan Doraemon kesukaannya?
Mengapa ia tidak setinggi ibu?
Apa Bumi yang ia pijak datar benar-benar bentuknya bundar seperti bola?
Akankah ayahnya membelikan skuter otopet untuknya?
Kapan gigi susunya tanggal, karena sudah mulai goyah?
Bolehkah ia memetik buah kersen didepan rumah tetangga?
Semua, semua pertanyaan bertubi-tubi turun ke tanah hingga rumput tak sanggup lagi memberikan jawaban karena kebingungan. Gadis itu kecewa karena merasa rumput mengacuhkannya. Ia masuk ke dalam rumah dan tidak pernah lagi mengajak rumput berdiskusi.
Tiga windu kemudian, gadis itu sudah setinggi ibu. Ia sadar bahwa Doraemon kesukaannya pada waktu kecil itu hanyalah tokoh kartun fiktif belaka. Ia yakin bahwa bumi itu bundar. skuter otopet masa kecilnya sudah dihibahkan ke saudaranya. Gigi susunya sudah berganti dengan gigi tetap yang kuat. Pohon kersen di seberang rumahnya sudah hilang karena ditebang pemiliknya dan berganti dengan pohon mangga. Semuanya sudah berubah. Pertanyaan-pertanyaan masa kecilnya pun seakan sudah tidak penting lagi.
Tetapi entah apa yang ada dalam benaknya, ia berjalan di halaman taman depan rumahnya, menginjak rumput-rumput hijau kembali dan berjongkok. Dia pun iseng dalam kesendiriannya dan mengenang masa kecilnya yang tampak konyol bertanya pada hamparan rumput yang membisu.
Hai rumput,
Apakah kekasihku yang sekarang adalah jodohku?
Apakah dia benar – benar mencintaiku?
Lama ia terdiam memandangi helai demi helai rumput yang menari-nari lembut tertiup angin. Lantas matanya terpaku pada dua helai yang bertautan manis di tengah-tengah rumput yang berdiri sendiri. Seakan mereka adalah pasangan yang sedang dimabuk cinta sehingga tak peduli pada hamparan rumput lainnya. Bahkan saat ditiup angin pun, mereka tetap menyatu.
Gadis itu berdiri dan ia tersenyum lebar. Lalu ia segera pergi dan melangkahkan kakinya ke tempat yang seharusnya ia datangi beberapa menit lalu, tempat ia berjanji bertemu dengan kekasihnya.
Sudah satu windu berlalu lagi sejak ia terakhir kali menyapa rumput. Sekarang ia hidup bahagia bersama suami dan satu anak perempuan manisnya.
Ketika putrinya mengajukan pertanyaan, maka ia memberi jawaban:
Tanyalah pada rumput yang bergoyang, nak.
Putrinya melangkah ke luar dan berjongkok di atas rumput. Ditundukannya kepala dan dengan khidmat ia mengajukan pertanyaannya.
Beberapa tahun lagi, mungkin rumput di depan rumahnya akan terus menjawab dengan bisu semua pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan. Pertanyaan tentang takdir dari sang Kuasa.