Kisah Sebuah Neon Lampion

Cahayaku berpendar, menenangkan bagi siapa pun yang menatapku. Sinarku memancar lembut di balik kertas-kertas putih gading yang menempel pada rangka kawatku yang bundar. Malam kian larut dan beberapa laron berusaha beterbangan mendekatiku. Aku bagai bunga yang menawarkan ketertarikan pada seranga – serangga itu.

Tetapi mereka tidak mengusikku sama sekali. Justru manusia di bawahku itulah yang kuperhatikan terus menerus. Di meja kerjanya ia meletakkan kepala, ditemani segelas air putih dan komputer lipat serta setumpuk kertas putih penuh percikan tinta dan coretan – coretannya. Seperti sudah putus asa, ia terus mengeluh dan mendesah.

Aku masih bertahan menerangi ruangannya, supaya ia tetap dapat beraktifitas dengan nyaman. Sayang sekali malam ini ia tampak tidak bersemangat. Mungkin ide-idenya sedang buntu, atau dia terlalu lelah dengan aktifitasnya seharian di luar sana.

Oh, itu dia menegakkan tubuhnya. Air putih di gelas itu diteguknya sekali. Lantas tiba-tiba saja jemari tangannya lancar mengetik tuts demi tut huruf. Aku memang tidak tahu apa yang dikerjakannya. Hanya satu saja pengetahuanku: bahwa ia membuatnya sepenuh hati hingga ia merasa frustasi jika mendadak inspirasinya hilang.

Jangan khawatir teman, aku masih di atas kepalamu, menerangi semampuku, mungkin sampai kekuatanku redup…atau hingga voltase habis. Aku ingin melihatmu tersenyum dan merasa tenang karena pancaran sinarku yang menyejukkan. Aku kasihan padamu, sungguh kasihan.

Kau tiba-tiba menatapku. Lima detik temponya. Tidak, aku tak akan pergi ke mana-mana, teman. Aku masih menunggumu belum beranjak dari ruang ini.

Ayo, manusia! Jangan berhenti! Ah, dia menghentikan semua gerakannya. Ia menengadah lagi ke langit-langit tempatku bergantung dan kali ini dia beranjak dari kursi lalu merebahkan tubuhnya di sebuah sofa merah. Tiba-tiba ia nampak sedih. Tetapi tak lama ia bangkit. Aku pun lega.

Dia ambil satu kertas dan ia baca isinya. Ia mengangguk-angguk dan menenggak air lagi. Lantas mengetik pada tuts tuts itu.

Ctik, ctik, ctik ctik. Suara sayup-sayup itu semakin membuatku redup. Andai punya mata seperti manusia, dapat kuumpamakan saat ini mataku mulai berat dan terkantuk-kantuk. Namun  apa daya, ia masih saja mempertahankan nyalaku. Dengan segenap kegigihan aku mempertahankan nyalaku, karena manusia di bawahku masih berjuang pula mengerjakan tugasnya.

Saat sang manusia terus saja serius menatap layar komputernya, tiba-tiba aku berkedip. Sesaat manusia itu seakan dihentikan movementnya, mirip film yang di-pause. Mungkin ia terkejut karena tingkahku. Dan sedikit membuyarkan konsentrasinya. Tapi sungguh, tadi itu hanya reaksi alami seperti bersin atau batuk pada manusia. Namun aku mulai kelelahan.

Keadaan membaik kemudian. Aku merasa pulih. Manusia itu juga. Ia kembali mengetik lancar dan hampir-hampir menyunggingkan lengkungan senyum. Malam kian larut, aku bertambah letih, dan aku bertahan demi satu orang di bawahku.

Waktu kurasa keadaan membaik, tahu-tahu saja ia menundukkan kepala begitu lama. Lantas sayup-sayup berkumandang dengkuran halus. Astaga. Dia tertidur? Dia menyerah? Lalu aku harus bagaimana? Aku pun butuh istirahat…

Mendadak manusia itu bangun dan ia menggeleng-gelengkan kepala. Mengucek mata, mengerjapkannya berkali-kali. Ia tampak lesu. Dengan pandangan bosan ia melihat layar komputernya.

Aku juga sudah ingin pingsan.

Ctik, ctik, ctik, ctik. Suara itu mendamaikan hatiku lagi. Setidaknya ia melanjutkan pekerjaannya. Aku dan dia sama-sama di ambang batas, namun kami sama-sama berupaya melawan kata kalah!

Ia terus mengetik, tetapi sayang aku semakin sering berkedip. Ia menengok padaku dan dengan tenang, ia lantas kembali menelusuri layar komputernya. Setelah terlelap dua menit, ia benar-benar bangkit!

Seiring semangatnya yang timbul lagi, aku justru bertambah lemas dan lemas.

Dan tanpa dapat dicegah lagi, aku tertidur. Gelap. Tiba-tiba terdengar langkah seorang manusia dan datang menghampiriku, dengan sebuah cahaya senter yang menyilaukan ku. Masih terdengar untuk terakhir kalinya, manusia itu memekik kaget.

“Sayang, sepertinya kita perlu beli lampu baru untuk ruang kerja.”

Lalu aku dilepas dan diistirahatkan dalam tong sampah khusus benda-benda non organik. Mudah-mudahan aku dibawa ke tempat daur ulang.

*inspirasi dari blog tetangga

CCK, 22 Mei 2012

One thought on “Kisah Sebuah Neon Lampion

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Security Code * Time limit is exhausted. Please reload the CAPTCHA.