Acara Televisi yang Tak Mendidik

acara televisi tak mendidik kini semakin menjamur
acara televisi tak mendidik kini semakin menjamur
acara televisi tak mendidik kini semakin menjamur


Semata-mata bukan untuk menganggap ‘bodoh’ orang yang suka menonton televisi. Menonton televisi juga boleh-boleh saja, asalkan tidak berlebihan. Yang berlebihan itu tidak baik, agamaku mengajarkannya. Aku memilih untuk lebih dalam hal membaca, entah itu buku, koran, majalah, tabloid, dsb  daripada menonton televisi.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa media, khususnya televisi di Indonesia, hanya mengedepankan rating. Program yang banyak penontonnya ya yang dapat rating tinggi, iklan mahal. Sayangnya atas alasan rating dan ekonomi inilah yang membuat program-program televisi kurang mendidik.

Satu fenomena yang baru-baru ini sedang hits dibahas di media sosial adalah program -acara apa ini?! entah acara musik, goyang, atau gossip- yang tayang SETIAP HARI di televisi, malam-malam pula. Prime time keluarga. Waktunya ‘ngaso’ keluarga.

Menyuguhkan joget-jogetan ‘sexy’, yang menjurus striptease?

Menunjukkan gossip para hostnya yang terkadang atau malah sering? mempertontonkan kelakuan-kelakuan yang tak pantas ditiru di atas panggung.

Di samping itu ada satu hal yang juga mengganjal, fenomena-fenomena yang akhir-akhir ini sering menjadi ‘andalan’ setiap program televisi. Pernah lihat acara musik yang bagi-bagi hadiah kepada para penontonnya? Hadiah ini tidak cuma-cuma, harus didapat dengan syarat-syarat tertentu. Seperti halnya para penonton diharuskan memakai pakaian/kostum/atribut yang nyeleneh dengan tema tertentu.

Saat beberapa orang penonton terpilih maju ke depan panggung dengan kostum ternyelenehnya menurut kacamata sang host, kemudian mereka memunculkan semacam ‘kompetisi’. Kompetisi semacam apa?

Sang host bertanya pada salah seorang penonton kandidat penerima hadiah, “Berapa lama mempersiapkan kostumnya, pak?”

“Semaleman, mas. Bergadang nyampe nggak sempet tidur.” Kata seorang kandidat penerima hadiah.

“Woh, tepuk tangan!” Teriak sang host seraya memberi aba-aba penonton untuk bertepuk tangan. Kemudian menimpali dengan pertanyaan, “Bapak darimana, nyampe sini jam berapa?”

“Saya dari (tempat yang cukup jauh dari studio acara tersebut), nyampe di sini jam lima pagi, mas.” Sang kandidat penerima hadiah menekankan pada ‘perjuangannya’.

Tanpa diberi pertanyaan lanjut, sang kandidat penerima hadiah ini nyeletuk, “Kalau saya dapet hadiahnya mau saya pake buat ngobatin anak saya, mas.” Dengan intonasi sedih, tak jarang diselipkan tangis di akhir kalimatnya.

Demikianlah ‘kompetisi’ dari para kandidat penerima hadiah. Menunjukkan perjuangan-perjuangannya, atau dalam istilah yang lebih kasar adalah ‘mengemis’.  Apa bedanya dengan pengemis-pengemis yang menjamur di jalan-jalan lampu lalu lintas? Cuma beda tempat. Berlomba-lomba menunjukkan kesengsaraannya untuk mendapat sejumlah uang. Mengedepankan kesengsaraannya seraya berharap semoga sang host trenyuh dengan apa yang dia alami dan membuka peluang besar hadiah jatuh ke tangannya.

Kembali lagi bahwa acara ini tayang pada saat prime time keluarga. Ayah, ibu, kakak, adik, sampai pembantu pun asyik menontonnya di depan layar televisi. Semua anggota keluarga tidak absen di ruang keluarga demi menyaksikkan tayangan favorit bersama. Semua memasang posisi terenak untuk menikmati tayangannya. Menggelar tikar ataupun kasur lantai di depan televisi. Menonton sembari tidur, duduk di sofa nan empuk ditemani cemilan di samping kiri kanannya. Nyaman.

Keadaan nyaman inilah yang sangat berbahaya. Seseorang akan mudah terbawa emosinya pada suatu acara. Seseorang akan mudah terhipnotis dalam keadaan nyaman, santai, atau dapat dikatakan pikirannya dalam keadaan alpa. Dengan mudah suatu tayangan televisi akan mendoktrin para pemirsa santainya ini. Dengan joget-jogetan seksinya, gossip-gossip picisan para hostnya, dan yang aku tekankan di sini adalah kebiasaan mengemis!

Kebiasaan menonjolkan kesengsaraan-kesengsaraannya untuk mendapatkan sesuatu. Apalagi kalau bukan dinamakan mengemis?!

Pada kasus ini yang paling rentan adalah anak-anak, yang katanya adalah penerus bangsa. Mau jadi apa negeri ini jika setiap orang hanya mempertontonkan kesengsaraan? Bukankah lebih baik menonjolkan prestasi, sehingga materi pun datang tanpa diminta. Dan sialnya, program televisi yang berorientasi pada pertunjukkan prestasi-prestasi anak bangsa hanya bisa dihitung dengan jari, jari satu tangan pula! Program-program acara bermutu inilah yang akan menjadi pemicu semangat generasi muda untuk lebih maju, untuk menjadi lebih baik. Menumbuhkan jiwa kompetisi dalam hal yang positif.

Semoga media-media ini, terutama televisi yang mempunyai kekuatan mempengaruhi paling hebat, dapat menyajikan tayangan-tayangan yang patut dipertontonkan. Ini harapan klise, tetapi aku takut jika kelak tak seorang pun berharap pada harapan-harapan klise ini lagi.

Salam YKS! (Yuk Kita Shut-Them-Down!)

dikutip dari gatotpriambodo

by Prayuda Erfandi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Security Code * Time limit is exhausted. Please reload the CAPTCHA.