Kasih anak sepanjang galah, kasih ibu sepanjang jalan, mungkin peribahasa tersebut sudah sering kita dengar. Dalam peribahasa ini menjelaskan bahwa kasih sayang ibu yang diberikan bagi kita anaknya untuk seumur hidup dan tak menuntut balasan apapun sementara seorang anak memberikan kasih sayang kepada sang ibu terkadang terukur bahkan hanya sepanjang galah. Namun berbeda dengan peribahasa tetapi memliliki makna yang sama yaitu sebuah pengorbanan yang dilakukan seorang ayah demi sang anak. Sugianto (45) seorang ayah yang rela menjual ginjalnya hanya demi menebus ijazah sang anak, Shara Meilanda Ayu (20).
Sugianto yang hanya bekerja sebagai seorang penjahit dan tidak memiliki uang untuk menebus ijazah Ayu. Dengan pemikiran pendek untuk menjual ginjal kepada orang yang ingin membeli ginjalnya asalkan dia bisa mengambil sebuah ijazah putri yang dicintainya, dia rela melakukan apapun. Namun, perjuangannyapun tidak sia-sia, akhirnya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, M Nuh memberikan beasiswa kepada Ayu untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi yaitu berkuliah di Politeknik Negeri Jakarta. Orang tua mana yang tidak senang melihat anaknya melanjutkan pendidikan yang lebih baik dibandingkan dengan dirinya sendiri. Harapan bahwa Ayu akan mempunyai hidup yang lebih baik dibandingkan dirinya yang hanya bekerja sebagai penjahit mulai membuat Sugianto bahagia.
Namun, setelah 1 tahun berlalu semenjak Ayu mendapatkan beasiswa untuk berkuliah, Ayu malah mengecewakan ayahnya dengan meninggalkan ayahnya dan pergi bersama pacarnya ke Bangka Belitung. Selain itu Ayu juga telah meninggalkan kuliahnya dan tidak mengikuti UTS yang digelar. Padahal beasiswanya yang diterima tidaklah gampang diterima oleh Ayu. Sebagai seorang orang tua, Sugianto tentu kecewa karena usaha yang dilakukan agar Ayu bisa menerima pendidikan yang lebih baik lenyap begitu saja. Berkaca dari kisah Sugianto dan Ayu dapat kita lihat bahwa sebagai seorang mahasiswa seperti Ayu, bukankah sudah sepatutnya kita harus bertanggung jawab akan keputusan yang sudah kita ambil? Contohnya adalah ketika kita memilih jurusan serta tempat kuliah yang ingin kita tuju, ketika mengambil keputusan tersebut maka kita harus bertanggung jawab dengan segala konsekuensinya yang akan terjadi. Terkadang kita juga memiliki rasa kejenuhan akan kuliah, apa lagi jika kita dibebankan tugas-tugas yang diberikan oleh dosen. Tetapi hal tersebut tidak menjadikan suatu alasan untuk menyianyiakannya begitu saja.
Melalui tahap-tahap pendidikan dari SD sampai ketika kita duduk di bangku kuliah agar dapat mendapatkan hidup yang lebih baik kita lakukan bagi orang yang mempunyai biaya untuk membayarnya. Apa lagi pendidikan di zaman sekarang semakin mahal dibandingkan dahulu, maka sudah sepatutnya kita tidak menyianyiakannya begitu saja.
Mungkin Ki Hajar Dewantara juga akan ikut bersedih melihat kita penerus masa depan Indonesia yang tidak serius belajar karena perjuangannya sia-sia begitu saja. Selain itu masih banyak juga orang-orang yang belum bisa mendapatkan pendidikan dengan baik dan fasilitas yang memadai. Namun meski begitu semangat untuk mengenyam pendidikan tidaklah patah harapan. Bahkan dengan keadaan yang serba kekurangan, mereka tetap bisa belajar dengan giat. Ditambah perjuangan orang tua agar anaknya dapat menerima pendidikan yang lebih baik dengan melakukan apapun bahkan nyawapun rela mereka tukar demi anaknya. Oleh sebab itu sudah sepatutnya kita melihat kasus Ayu serta orang-orang tetap semangat untuk belajar untuk direnungkan dengan baik-baik.
Ingatlah bahwa pendidikan bukanlah diterima bukan demi menyenangkan orang tua kita namun untuk masa depan kita. Maka sebaiknya kita menerima pendidikan sebaik-baiknya apa lagi bila yang diterima adalah beasiswa yang diterima dari negara. Hal tersebut haruslah dipertanggungjawabkan dengan baik dan tidak ditinggalkan begitu saja. Lantas apakah kita sudah memanfaatkan pendidikan tersebut dengan baik ataukah malah sudah kita sia-siakan begitu saja?
Tania Monica
STIKOM London School Of Public Relations Jakarta