Suatu Senja di Ngurah Rai

Sendirian di ruang keberangkatan Bandara Ngurah Rai yang megah dan sibuk ternyata perempuan muda itu merasa gamang. Padahal keamanan pasti terjamin. Sebab kemarin disinggahi Presiden Amerika Serikat George W Bush. Kesinggahan yang cuma sekitar empat jam itu telah membikin banyak orang jungkir balik, montang-manting, pusing, geram, dan garang sejak sepekan atau bahkan sekian minggu yang lewat.

Dia sendiri tak pernah membayangkan kemungkinan ikut sibuk dengan urusan politik. Saat menerima tugas ke Denpasar dia masih berpikir sederhana. Yang penting, sebagai orang baru di kantornya mesti kerja maksimal biar mendapat pengakuan. Ternyata tugasnya tidak semudah yang dibayangkan setelah tersadar harus ikut mengurusi the First Lady of US. Sungguh tak pernah singgah dalam mimpinya kemungkinan bertemu dan berdekatan dengan tokoh dunia itu.

Grogi dan keder juga saat mendengar penjelasan atasannya tentang apa pun yang mesti dikerjakan. Tapi spontan berkembang juga kebanggaaan menerima tugas itu. Mungkin selama hidup hanya sekali itulah mengalaminya. Jadi, niatnya bekerja sepenuh hati dengan risiko harus montang-manting. Beruntung seluruh tim yang dipimpin Mbak Ning dan Mrs Clayne dari Kantor Kedutaan Besar di Jakarta berpikir sejalan, sehingga mereka bisa berbagi tugas dengan luwes, lugas, dan tegas.

Memang tidak mengurusi soal politik yang rumit-rumit, karena hanya berada di jalur teknis dan administrasi. Tapi dengan urusan itu pun mereka sudah jumpalitan. Kelegaaan barulah terasa setelah segalanya terlewatkan. Lebih-lebih sepulang menyaksikan pesawat kepresidenan Amerika Serikat yang megah itu take off dari bandara dan melenyap di langit Denpasar yang jingga. Seperti tersadar dari mimpi yang menegangkan, mereka pun  justru terdiam saat mengikuti jejak langkah Pak Konsul meninggalkan VIP Room yang masih terjaga ketat. Konsul Jenderal yang tampan itu tersenyum, kemudian menyalami mereka dengan wajah yang cerah. Lantas terasa kegembiraan dan kepuasan yang meluap. Tapi justru tak bisa banyak bicara, kecuali hanya membilang terima kasih.

Malamnya mereka sepakat meluruhkan seluruh beban yang memberat di pundak masing-masing dengan membikin pesta syukuran di hotel sampai menjelang subuh. Mrs Clayne menyanyikan tembang-tembang Indonesia dengan logatnya yang memberat. Mbak Ning membacakan sajak-sajaknya sendiri. Mas Tom yang ahli komputer itu memamerkan keterampilannya bermain sulap, Pak Gun ternyata pinter melawak dengan berbagai kekonyolannya. Padahal dalam bertugas di seksi keamanan terkenal garang, keras, dan tegas.

Perempuan muda itu memilih pamer menari dengan kostum yang serba darurat. Ternyata keterampilan seninya di sekolah dasar dan menengah dulu masih segar membekas, sehingga bisa ikut menciptakan kegembiraan yang meluap. Dan kenyataan itu menyadarkan ingatannya ke wajah almarhumah ibunya. Dulu sering ibunya menegaskan perlunya orang memiliki keunggulan personal seperti menyanyi, menari, melawak, melukis, mengarang, dan lain-lain. Jadi, beruntunglah dulu dipaksa menari di rumah dan sekolah.

Di akhir pesta terasa matanya memberat dan dadanya memadat menyadari kerinduan dirangkul ibu hanyalah sebuah impian. Alangkah nikmat kalau bisa pamer kegembiraan apa pun ke pangkuan ibu sendiri. Lantas teringat samar ujaran Mbak Ning yang lembut.

“Sudahlah. Mau bilang apa lagi? Yang sudah berpulang biarlah tenteram dan damai di sana. Masih ada yang lain, to? Dari obrolanmu yang lepas-lepas itu Mbak Ning bisa bayangkan rumah di Semarang itu happy dan segar. Ayahmu sibuk tapi santai. Suami sabar. Adikmu santun dan banyak pengertian. Tantemu cantik, gesit, dan ramah. Ada juga Ansellia Indah Permana yang lucu. Jadi, ngapain bersedih-sedih? Mbak Ning sendiri sudah yatim piatu sejak remaja. Sekarang suami masih berjauhan. Apa bedanya?”

“Bedanya aku masih gampang cengeng, sedang Mbak Ning sudah mentereng.”

“Apanya yang mentereng?”

“Mentalnya, dong.”

“Itu butuh proses. Tergantung gimana kita bersikap. Sudahlah. Yang jelas, tidak seorang pun bisa membaca takdirnya sendiri. Yang penting di mana pun orang mesti berjuang dengan kondisi masing-masing. Tak ada prestasi dan kenikmatan yang gratisan.”

Kemudian mereka pada terlelap kelelahan dan esoknya harus berpisahan. Mbak Ning kembali ke Jakarta dan perempuan mungil itu mesti pulang ke Surabaya. Mereka berjanji akan terus menjalin kontak pribadi demi prestasi masing-masing. Janji seperti itu memang gampang diucapkan, tapi sulit dijalankan. Yang jelas, enak juga didengar sebagai selingan lagu-lagu kesibukan yang sering dibilang fatamorgana. Makin diburu kesibukan itu justru makin menjauh dan khawatir kehilangan dirinya.

Dan itulah yang sedang disadari perempuan mungil di sudut Bandara Ngurah Rai. Kesepian di tengah kesibukan. Khawatir kehilangan wajah dan hatinya. Lantas ia pun mencari-cari jalan mengusir sepi dengan memijit-mijit sejumlah nomor yang pernah melekat di batinnya. Dalam sekejap terdengar samar celoteh renyah di seberang yang jauh.

Edan tenan. Tumben ingat ke Cepu. Di mana kamu? Lagi ngapain. Sompret. Jangkrik.”

“Ah, kamu, masih saja gampang misuh-misuh. Buanglah makianmu. Jadilah perempuan yang santun.”

“Gombal, ah. Kamu sih bikin aku mesti mengumpat. Coba kamu enggak ninggalin Cepu, pasti aku jadi santun kayak dirimu. Sekarang kamu enggak bisa misuh-misuh, to?”

“Tak laku di kantorku sekarang. Kantorku serius. Pada sibuk dengan urusannya sendiri. Jauh banget bedanya sama Cepu yang guyup, rapat, dan santai. Itu yang mahal. Itu yang masih sulit kulupakan dari Cepu. Itulah yang kadang bikin aku kangen sama kalian.”

“Nyesal lari dari Cepu?”

“Ah, sorry, enggak dong. Pilihan sudah kutetapkan. Pasti ada risikonya.”

“Jadi sekarang sudah kerasan?”

“Butuh waktu. Dulu juga sedih waktu ditempatkan di Cepu. Dari Semarang yang hingar bingar lantas terjepit di Cepu yang pelit. Tapi lama-lama kerasan juga.”

“Lantas ngapain sih kamu tega ninggalin Cepu?”

“Axxon Mobil Cepu memang mentereng. Tapi apa salahnya cari pengalaman yang lain? Kebetulan bisa. Jadi, perlu dicoba, kan?”

“Yakin di situ lebih nyaman?”

“Aku berharap demikian. Tapi kenyataan bukan di tanganku sendiri.”

“Ah, rumit banget pikiranmu sekarang.”

“Yang namanya pikiran pasti rumit, Rinta. Kamu sendiri ngerasakan to?”

“Terus kamu ngerjain apa di situ?”

“Aku dapat pengalaman yang mahal. Mengurus the First Lady of US. Sempat foto bareng lho. Jangan ngiri ya. Bayangkan, cah pinggiran Semarang sempat ngurusin tokoh dunia. Tak terbayang. Hayo, mau bilang apa kamu?”

Tak terdengar jawaban, kecuali derai tawa yang renyah. Padahal dia masih ingin menegaskan pikirannya.

“Bukan aku bangga dengan orangnya. Bukan aku bangga dengan Amerika-nya. Aku yakin dalam sekejap diriku sudah terlupakan. Aku pun sadar hidupku akan selalu bernapas Indonesia. Kerjaku memang di kantor orang Amerika, tapi bukan berarti diriku menjadi orang Amerika. Yang jelas, dapat menyerap yang baik-baik dari tradisi mereka yang memang hebat di luar urusan politik. Jadi, apa salahnya aku bangga dengan profesiku?”

Lantas terbayang Rinta yang ramping itu kelimpungan memburu-buru kelanjutan pikirannya. Tentu saja dia sendiri tak paham apa yang berkembang di kejauhan. Dua tahun berdekatan memang membekaskan kenangan tersendiri. Rinta itu perempuan yang enerjik, optimistis, kreatif, supel, dan lugas pikirannya. Tapi sedekat-dekatnya orang tetap saja dipisahkan oleh jagad batin masing-masing.

Sekarang mereka sudah berjauhan dengan kesibukan yang padat. Ia sendiri mesti menjalin kedekatan dengan lingkungan kerja yang baru. Dan ternyata bukan masalah yang gampang karena bersamaan dengan proses menjauh dari rumah kelahiran.

Sewaktu masih di Cepu perempuan itu terbiasa pulang ke Semarang setiap Jumat petang dan berbalik ke Cepu di Minggu siang. Rasanya gampang dan lapang. Rasanya masih bisa tuntas mengurus bermacam keperluan rumah. Tapis adarlah senja itu sudah sebulan tak sempat menjenguk rumah Semarang lantaran kesibukan.

Itulah sebabnya belakangan kerap menggambar-gambar sepinya rumah kelahiran. Sadarlah bahwa sepandai-pandai lelaki mengurus rumah memang tidak seluwes perempuan. Wajarlah kecerahan rumah itu pun memudar. Ah, biarlah, pikirnya. Asalkan tak sampai dibilang berantakan.

Kalaupun sang ayah mengaku sudah pulih dari guncangan batin dan akan terus melangkah dengan banyak urusan di ruang-ruang kuliah, seminar, kesenian, sosial, dan koran-koran, ternyata dia sendiri masih merasa berat meninggalkan rumah kelahiran yang memang sarat kenangan. Bahkan kadang merasa bersalah menjauh dari Semarang.

Lantas melintas wajah seorang mbakyunya yang sudah melesat di seberang lautan. Dan di saat kepengin memanggilnya justru terdengar ujaran lembut seorang bocah ayu yang kontan telah bergayut di sisinya.

“Maaf, boleh duduk di sini?”

“Lho, boleh-boleh saja. Tempat ini buat semua orang.”

“Mbak sendirian?”

“Kok tahu aku sendirian?”

“Dari tadi tak ada temannya.”

“Oke. Siapa kamu, cah ayu?”

“Ansellia Indah Permana.”

“Ah, yang bener. Itu sih nama adikku,” ujarnya hampir berteriak. Semula kemunculan bocah ayu itu ditanggapi dingin-dingin belaka. Sekadar iseng di tengah banyak orang. Tapi nama itu kontan membikin kejutan di batinnya yang sepi. Lantas ditanyakan lagi dengan sepenuh hatinya.

“Sekali lagi, siapakah namamu, bocah ayu?”

“Ansellia Indah Permana.”

“Kok bisa sama dengan adikku. Aneh sekali.”

“Boleh saja ada nama yang sama. Malahan banyak.”

“Dia juga seperti kamu. Bongsor. Ayu. Lucu. Kami biasa memanggil Ucup. Sejak bayi terlalu dekat dengan rumah kami. Mamanya kerja di bank sampai petang. Papanya kerja jauh sekali. Makanya Ansellia itu dulu lebih kerasan dengan ibuku. Jadi, seperti adik ragilku. Dan kami serumah teramat sayang padanya. Sekarang pun dialah sekuntun kembang yang segar di rumah kami.”

Tentu saja sulitlah memberikan gambaran sosok Ansellia kepada seorang bocah yang belum genah asal-usulnya. Tak mungkin dijelaskan seluruh riwayatnya yang panjang dan berliku. Kemudian terdengar ucapan yang segar.

“Panggilanku juga Ucup.”

“Ah, yang bener dong.”

“Betul.”

“Kelas berapa?”

“Empat.”

“Sama siapa kamu?”

“Mama.”

“Di mana mamamu?”

“Tadi di sana. Mungkin lagi jalan-jalan.”

“Lho, kalau hilang gimana?”

“Tak apa. Nanti lapor pak polisi.”

“Gimana coba lapornya.”

“Bilang, pak polisi aku kehilangan mama, tolong dicariin.”

“Kalau pak polisi enggak mau?”

“Ya jelas mau. Tugas pak polisi itu layani dan lindungi semua orang.”

“Dari mana kamu tahu?”

“Mama bilang begitu. Di mobil-mobil polisi juga ada tulisan seperti itu.”

Perempuan itu tersenyum mendengar kata-kata yang terucap lancar, lugas, dan luwes. Ternyata dia sendiri tak pernah sempat mengerling semboyan polisi yang tertulis di mobil-mobil dinasnya. Yang terpikir saat itu hanyalah mempertanyakan misteri perjalanannya.

“Oke, Ucup mau ke mana?”

“Terbang.”

“Ya, terbang ke mana.”

“Jauh, kata Mama.”

“Ah, yang bener dong.”

“Mama bilang begitu. Aku cuma ikut.”

“Pulang atau pergi?”

“Pergi.”

“Ayahmu?”

“Mama bilang, ayah tugas jauh sekali.”

“Baik, baik. Lantas siapa sih mamamu?”

“Yulianti.”

“Ah, yang bener. Itu nama tanteku. Artinya, ibunya Ansellia-ku.”

“Sudah dibilang boleh saja ada nama yang sama. Mbak siapa?”

Perempuan itu tersekat untuk menyebutkan namanya sendiri. Kemudian dengan semangat iseng disebutlah spontan sembarang nama perempuan Jawa yang panjang, “Ni Ken Dedes Parameswari Diah Pitaloka Sekarwangi Pintaning Bumi Pertiwi Tinanggenah Memayu Lestarining Pakarti Budi Rahayu.”

Senyap sekejap. Kemudian bersambung tanya, “Paham? Tahu artinya?”

Dia sendiri ketawa menyadari kenakalan itu. Dan tak sempat mendengar jawabnya. Yang tertangkap kemudian justru panggilan petugas Bandara Ngurah Rai yang bilang para penumpang ke Surabaya sudah saatnya berkemas lewat pintu pertama. Perempuan itu bergegas menyambar tasnya yang sejenak terlupakan. Kemudian saat menoleh ke arah Ansellia ternyata telah menghilang. Mungkin sudah menyelinap ke celah banyak orang untuk memburu ibunya. Dan dia sendiri menjadi belingsatan.

Di tangga pesawat perempuan muda itu masih terus mencari-cari wajah Ansellia. Tapi yang tampak hanyalah bayang-bayang yang samar. Sampai di kursinya masih juga terasa denyut batin yang penasaran. Ditembusnya kaca jendela dengan harapan di kejauhan sana memang melintas wajah di gadis cilik Ansellia.

Tapi yang tampak hanyalah hamparan rumput, sawah, dan pepohonan yang bergoyang-goyang.

Dan senja di Ngurah Rai pun makin merapat.***

(Semarang, Nopember 2001)

3 thoughts on “Suatu Senja di Ngurah Rai

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Security Code * Time limit is exhausted. Please reload the CAPTCHA.