Perlindungan hak asasi hewan di Australia
Sekitar dua minggu yang lalu, stasiun televisi Phoenix Jerman memberitakan praktek perlakuan keji pada proses penjagalan sapi hidup asal Australia dibeberapa rumah pemotongan hewan (RPH) di Indonesia. Penulis me-recheck kebenaran berita ini melalui beberapa online-news seperti: The European Union Times, ABC News, dan Kompas; bahkan penulis juga melihat video perlakuan kejam ini di Youtube (Referensi Youtube: ‘ABC Four Corners – Animal Cruelty in Halal Meat Production in Indonesia’ dan ‘Stories from Indonesia – Live Export Investigation’).
Di Youtube, terlihat bukti nyata, dimana para penjagal sapi (orang Indonesia) menyiksa sapi sebelum membunuhnya untuk tujuan konsumsi. Dapat dilihat, dimana supaya sapi menuruti keinginannya, penjagal sapi melakukan hal-hal sbb: sapi dipukul-pukul pada bagian kepala dan/ atau badannya baik dengan tangan atau alat, sapi diobok-obok matanya dengan jari tangan, ekor sapi ditekuk dan dipatahkan, kaki sapi dipatahkan sehingga tulang kakinya lepas dari engsel, hidung sapi disemprot air sehingga sapi kesulitan untuk bernafas, dlsb. Praktek penyiksaan hewan ini merupakan pelanggaran terhadap tata cara perlakuan internasional terhadap hewan.
Praktek keji penjagalan sapi dibeberapa RPH Indonesia ini, menimbun protes keras dari para ahli dan rakyat Australia; konsekuensinya pemerintah Australia menghentikan ekspor sapi hidup ke beberapa RPH di Indonesia. Selanjutnya, apabila tidak ada perbaikan management perlakuan terhadap hewan ternak hidup asal Australia, bukannya tidak mungkin apabila pemerintah Australia mengambil tindakan tegas berupa penghentian ekspor sapi hidup secara total ke Indonesia (tahun 2006-2008, Australia menghentikan ekspor hewan ternaknya ke Mesir akibat adanya penganiayaan dalam proses transportasi).
Perlindungan hak asasi manusia di Indonesia
Sejak 2 hari yang lalu (20 Juni 2011) penulis mendapat berita nasib buruk seorang TKI bernama Ruyati binti Satubi (54) yang dihukum pancung di Saudi Arabia. Diketahui bahwa pembunuhan yang dilakukan Ruyati terhadap majikannya, berlatar belakang keadaan Ruyati yang sudah diluar batas kesabaran dalam menerima perlakuan keji (semena-mena) dari majikannya selama bekerja, seperti : pemukulan dan penendangan hingga mengakibatkan patah tulang kaki; tanpa adanya pihak yang dapat diandalkan untuk memberikan perlindungan hukum dan bantuan keamanan. Diperoleh informasi bahwa eksekusi hukuman pancung Ruyati dilaksanakan tanpa sepengetahuan KBRI di Riyadh.
Masih di Saudi Arabia, seorang TKI bernama Darsem binti Daud Tawar, saat ini juga terancam hukuman mati akibat membunuh majikannya. Ahli waris majikan menuntut 4,5 miliar rupiah sebagai uang ganti rugi pembebasan Darsem dari hukuman mati. Besaran nilai rupiah ini tentu saja mustahil bisa dibayar oleh keluarga Darsem.
Upaya perlindungan hak asasi manusia di Indonesia
Sudah sering penulis mengetahui berita duka kehidupan TKI diluar negeri , misalnya: TKI berangkat keluar negeri dalam keadaan sehat – pulang dengan keadaan hamil diluar nikah/ sakit parah/ cacat/ meninggal dunia. Hal ini membuktikan kurangnya perhatian pemerintah Indonesia terhadap kesejahteraan dan keamanan TKI. Kecaman terhadap pemerintah negara asing, dan ungkapan keprihatinan tidaklah cukup untuk diekspresikan kepada (korban) TKI yang notabene adalah penyumbang devisa negara yang sangat besar.
Bandingkan dengan Australia yang bahkan mampu memberikan perlindungan terhadap hewan ternaknya diluar negeri. Selanjutnya, bagaimana sikap pemerintah Indonesia dalam memberikan perlindungan terhadap warga negaranya (TKI)?
Mempertimbangkan jumlah sdm Indonesia dan proyeksi pasar pengiriman TKI keluar negeri yang sangat besar; penulis merekomendasikan kepada pemerintah Indonesia agar melakukan tindakan konkret berkesinambungan berupa: 1) memperketat management persyaratan perekrutan TKI yang akan dikirim ke luar negeri (misal: minimisasi latar belakang pendidikan, kemampuan bahasa, pengetahuan dan kemampuan adaptasi terhadap budaya asing), 2) perlindungan/ pendampingan hukum pada kasus-kasus hukum TKI, 3) segera merealisasikan pembuatan undang-undang perlindungan TKI, beracuan kepada Deklarasi HAM PBB 1948, yang bisa diaplikasikan baik didalam dan luar negeri. Anggota pembuat draft undang-undang ini bisa direkrut dari, misalnya : akademian lulusan dalam dan luar negeri, praktisi bisnis TKI (penyalur tenaga kerja, dll), lawyer, serta perwakilan pemerintah.
Penulis menyadari bahwa rekomendasi ini tidak dapat secepat kilat dilaksanakan, tetapi apabila tidak dimulai dari sekarang, dengan digerakkan oleh pemerintah Indonesia; lalu kapan lagi? dan oleh siapa?. Mencuplik Deklarasi PBB 1948 Pasal 3 dan 5 : ‘Setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu’ dan ‘Tidak seorang pun boleh disiksa atau diperlakukan secara kejam, diperlakukan atau dihukum secara tidak manusiawi atau dihina’, serta mempertimbangkan isi Pembukaan UUD 1945; penulis berpendapat bahwa sekarang adalah saat yang tepat untuk melakukan reformasi hukum Indonesia.
Demi kesejahteraan warga negara Indonesia, ungkapan pejuang kemerdekaan RI ‘Sekali merdeka tetap merdeka!’ sungguh perlu untuk direalisasikan.