Gadis kecil itu sedang bersiap-siap ke sekolah, ia menghabiskan sarapan paginya penuh semangat. Hari itu adalah peringatan Fathers Day (Hari Ayah), dimana di sekolahnya semua siswa harus berbicara tentang ayah. Ibunya kelihatan kuatir karena tahu apa yang akan dihadapi putrinya nanti. Ia berbisik agar si kecil yang ceria tak usah masuk sekolah saja hari ini, tetapi si anak berkuncir dua itu hanya tertawa dan berkata ini ”ini kesempatan memberitahu teman-temanku siapa sebenarnya ayahku, Ibu”.
Mereka tiba di ruang pertemuan sekolah. Ruangan itu ramai dengan para ayah yang menemani putra-putri mereka, malah beberapa dari ibu mereka juga ikut mendampingi. Hanya si gadis kecil yang duduk bersama ibunya. Ibunya menunduk menyembunyikan kegalauan sementara si putri sibuk menyapa teman-temannya dengan riang.
Satu persatu anak-anak maju ke depan, bercerita tentang ayah mereka. Si gadis kecil memperhatikan dengan seksama membuat si ibu semakin gundah. Tangannya yang gemetar tak mampu mengusir kekuatiran menunggu giliran si gadis kecil.
Akhirnya tibalah giliran si gadis kecil. Saat ia berdiri, sang ibu sempat ragu namun si gadis kecil meraih tangannya dan mengajaknya ke depan. Mereka berjalan di tengah pandangan sinis orang-orang yang berbisik “ayah macam apa yang tak bisa menemani putrinya di hari sepenting ini.” Si ibu duduk di mana seorang ayah seharusnya duduk menemani si gadis kecil dan di depannya si gadis kecil memulai kisahnya tentang ayah.
“Ayah yang kukenal bukanlah ayah yang menemaniku bermain bola, bukan ayah yang bisa menciumku setiap saat dia inginkan, bukan ayah yang bisa kusambut ketika ia pulang kerja, juga bukan ayah yang bisa membelaku saat aku diganggu anak yang nakal, dia juga bukan ayah yang bisa menemaniku saat aku sedang sakit, bahkan ayah tak pernah mengucapkan selamat ulang tahun untukku walaupun sekali saja. Tetapi bukan karena ayahku jahat atau terlalu mementingkan pekerjaannya, ayahku mungkin terlalu baik hingga Tuhan ingin ayah bersamaNya. Aku tak membenci Tuhan karena aku tahu Tuhan sangat sayang padaku dan Ayah, Tuhan pasti punya rencana lain untuk kami hingga ia memisahkan aku dan ayah.”
Gadis kecil terdiam dan memandang kesekelilingnya, menatap wajah-wajah di hadapannya, “Ayah memang tak pernah ada di sisiku, tapi ia menemaniku setiap saat. Setiap kali aku bersedih, aku hanya tinggal menutup mataku sejenak dan memanggil namanya. Ia akan datang meskipun cuma aku yang tahu karena hatiku merasakannya. Ketika aku rindu menatap wajahnya, foto ayah akan menemaniku dalam tidur. Ayah memang tak bisa mengajariku bermain ataupun belajar, tapi ia mengajariku menjadi anak yang mandiri karena aku tak punya ayah yang membantuku, aku belajar menjadi anak yang berani karena tak ada ayah yang membelaku, aku belajar menjadi anak berprestasi karena aku ingin ayahku bangga di surga sana, aku ingin berhasil menjadi dokter karena aku ingin ibu punya alasan untuk melanjutkan hidupnya.”
Lalu ia diam sejenak, menutup mata dan berbisik, “aku beruntung karena ada ibu yang menemaniku, yang membantuku mengenal ayah sejak aku bayi dan aku tahu ayah ada di sini, melihatku dengan senang karena aku sudah memperkenalkannya pada semua agar semua orang tahu betapa berartinya ayah bagiku. Suatu hari nanti jika aku bisa bertemu dengannya di surga, aku akan berkata bahwa aku sangat mennyayanginya dan selalu bangga menjadi anaknya.”
like this, gan! terharu bacanya. T_T