Buta Bukanlah Halangan Untuk Berkarya Dan Sukses

difable
Mata adalah organ penglihatan yang mendeteksi cahaya. Yang dilakukan mata yang paling sederhana tak lain hanya mengetahui apakah lingkungan sekitarnya adalah terang atau gelap. Mata juga bagian yang sangat penting, karena merupakan salah satu dari panca indera manusia. Mata dapat berfungsi dengan baik apabila ada cahaya, dengan adanya cahaya ini maka mata akan dapat melihat dengan baik. Bila di dalam kegelapan maka mata tidak mampu melihat benda dikarenakan tidak ada cahaya yang masuk.Bayangkan jika kita harus beraktivitas tanpa mata pasti ini akan sangat sulit ,tetapi tidak untuk seorang Mimi Mariani Lusli, wanita kelahiran Jakarta, 17 Desember 1962, Mimi yang anak ketiga di antara empat bersaudara itu menyadari penglihatannya mulai kabur sejak berusia 10 tahun, yakni saat dia duduk di bangku SD kelas 5 di Candranaya, Jakarta Barat.

Dia mengalami penyakit genetik retinitis pigmentosa yang merupakan penyakit degenerasi retina. Penyakit itu memiliki kecenderungan untuk diturunkan secara genetis. Pada retinitis pigmentosa, terjadi degenerasi fotoreseptor retina secara bertahap sehingga menyebabkan hilangnya penglihatan secara progresif. Gejala-gejala pada penderita retinitis pigmentosa adalah sulit melihat pada malam hari dan rabun senja, penyempitan lapang penglihatan secara perlahan, dan berlanjut pada kebutaan,” jelasnya. Karena penyakit itu mengenai saraf dan genetik, sampai saat ini belum ada pengobatan yang efektif.

Anak pasangan Kuswandi Lusli dan Yuliawati itu pun berkali-kali dibawa ke dokter mata. Ketika penyakitnya makin parah, dia tidak bisa lagi menulis di buku. Akibatnya, ketika duduk di kelas V SD, Mimi tidak bisa bersekolah lagi.Setelah itu Mimi bersekolah di SLB untuk belajar huruf Braille lalu mendapatakan ijazah SD, pada umur 17 tahun mimi di vonis dokter mengalami buta total dan sekitar sebulan itu dia memilih mengisolasi diri dari luar. Namun, kondisi tersebut justru membuat keluarganya terpacu untuk memberi dukungan. Melalui bimbingan rohani sejumlah pastor dan konsultasi panjang dengan psikolog, Mimi pun berusaha bangkit karna merasa dirinya lebih beruntung dibandingkan kondisi teman-teman tunagrahita, Sambil terus berobat itu, Mimi akhirnya bisa menempuh pendidikan di Sekolah Tunagrahita Bakti Luhur, Malang, Jawa Timur, dan melanjutkan studi di Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Santa Maria (1982-1985). Dia kemudian berhasil menyelesaikan sarjananya di IKIP Santa Dharma Jogja (1985-1989).

Mimi punya cara tersendiri untuk bisa sekolah dan kuliah bersama orang-orang normal. Sebagai penyandang buta, trik-trik studi yang diterapkan Mimi cukup unik. Ketika harus memahami sebuah materi perkuliahan  “saya membawa tape recorder kecil untuk merekam materi kuliah supaya bisa diulang di rumah,” jelasnya., kalau hendak ke perpustakaan  dia mengajak temannya yang kutu buku membaca ke perpustakaan. Mimi juga dibantu sejumlah teman serta saudaranya ketika harus membaca diktat perkuliahan dan menyelesaikan tugas.

Setelah itu, dia mengambil Master of Sains di Universitas Indonesia (UI) Depok (1995-1997). Mimi juga memperoleh beasiswa dari British Council, sehingga bisa lulus program studi Master of International Communication di Leeds University, Inggris. Tak sampai disitu, perempuan hebat ini sekarang sedang melanjutkan kuliah kedoktorannya di Faculty of Earth and Life Sciences Universitas of Amsterdam di Belanda.

 

Awal karier Mimi

Mimi pernah menjadi guru di SMA Santa Ursula dan BHK Kristoforus Grogol.Kemudian menjadi dosen di Universitas Atma Jaya sejak tahun 1994 hingga 2003.

Pada 1991-2003, Mimi mengajar metode bergaul dan komunikasi dengan orang cacat di Universitas Atma Jaya, Jakarta. Berbagai organisasi penyandang tunanetra ditekuni. Misalnya, Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni). Organisasi sangat gigih memperjuangkan kesetaraan hak dan menganalisis pasal-pasal dalam GBHN yang diskriminatif terhadap penyandang tunanetra, karena kecintaannya terhadap dunia pendidikan, Mimi pun memutuskan untuk berkarier sebagai pengajar dan dosen.

Mimi kini merancang sebuah metode pembelajaran tentang teori disabilitas bagi penyandang cacat maupun bagi orang normal. Program itu sedang dimatangkan Universitas Indonesia. Pada mata kuliah tersebut, dia mendesain teori ilmu komunikasi bagi tiap individu dari dua sisi dunia itu untuk memudahkan proses interaksi. Dia berharap, dengan mempelajari mata kuliah tersebut, mahasiswa yang terjun ke dunia profesi akan terasa kepekaannya terhadap sesama. Khususnya terhadap para penyandang cacat. “. ”Coba Anda jalan-jalan di tempat umum dan
teliti berapa persen yang bersikap ramah kepada penyandang cacat ,” Ungkap Mimi

Perubahan sikap itulah yang kini juga gencar dia kampanyekan melalui metode belajar di Mimi Institute yang dibangun pada tahun 2009. Lewat Institute itu, dia mengajarkan pelatihan kepekaan kepada semua orang. Tiap peserta dilatih untuk memahami karakteristik penyandang cacat. “Saat ini banyak hal yang tidak nyambung ketika penyandang cacat berinteraksi dengan orang normal,” tegasnya.

Seakan ingin terus menularkan semangatnya pada orang lain, Mimi banyak sekali bergabung dengan lembaga-lembaga sosial yang membantu pendidikan para penyandang cacat, terutama tuna netra. Mimi telah membangun Mimi Institute, sebuah lembaga yang memiliki visi agar para penyandang cacat memiliki hidup yang lebih baik.

“Di sini ada anak yang menderita learning difficulties yang sejak awal kami bina. Sekarang kondisinya sudah lebih baik,” tuturnya
Yang disayangkan lagi, banyak orang tua yang meminta hasil instan kepada Mimi. Baru dibawa konsultasi beberapa kali langsung meminta hasil signifikan. Kalau tidak berhasil, ABK (anak berkebutuhan khusus) menjadi bulan-bulanan dan dipindah dari tempat konsultasinya, kalau sudah dipindah dari tempatnya, Mimi kelabakan. Dia mencoba untuk menelepon atau berbicara kepada orang tua sang ABK supaya tetap bisa dilatih. Bukan masalah uang, tentu. Sebab, di tempat Mimi, anak yang tidak mampu akan disubsidi. Dia khawatir, kalau ABK tidak mendapat pelatihan, ujung-ujungnya, mereka disembunyikan orang tuanya.  Kondisi Mimi yang tunanetra sebenarnya memberikan keuntungan tersendiri dalam mendidik anak-anak yang bernasib sama dengan dirinya. Dia dinilai lebih natural saat mendekati anak-anak itu. Mimi mengungkapkan, hal tersebut bisa dilakukan karena dirinya merasakan bagaimana pahitnya berbeda dari yang lain.

Selain itu Mimi menulis beberapa buku, karyanya yang berkaitan dengan disabilitas, yakni Bagaimana Cara Menulis dan Membaca Braille, Tips Cara Berko­munikasi dengan Tunanetra, dan Helping Children With Sight Lost. Ia juga menjadi editor otobiografi buku karya Chandra Gunawan berjudul Berkarya dalam Gelap dan Sunyi.Mimi juga pernah mempresentasikan dua proyek di mancanegara, diantaranya adalah “The Itinerant in Inclusice School” yang diseleng­garakan oleh Handicap International di London, Inggris tahun 2007 dan proyek “Infrastruktur dan Aksesibilitas sebagai Bagian dari Inklusivitas” pada pertemuan antarnegara di kawasan Asia Pasifik yang diselenggarakan oleh The Rehabilitation International, di New Delhi, India pada tahun 2010.

Banyak juga penghargaan yang didapat oleh Mimi Tahun 2008, Mimi terpilih sebagai partisipan pada Women International Leadership and Disability yang diadakan Mo­bility International Amerika Serikat. Tahun 2009, ia diundang untuk menghadiri Konferensi Asia Pacific Disability Research yang diselenggarakan Universitas New South Wales, Sydney, Australia.

‘’Saya ingin menjadi lebih baik ‘’kata Mimi ,visi Mimi selanjutnya adalah untuk mengedukasi masyarakat agar masyarakat sekitar memberi ruang yang sama kepada orang Disabilitas dan perubahan pandangan terhadap orang disabilitas yang harusnya mempunyai hak yang sama seperti yang lainya.

 

Artikel  oleh Nindya Sari

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Security Code * Time limit is exhausted. Please reload the CAPTCHA.