Jawaban Gugatan Pramono Pujo Wardoyo dalam Perkara No. 151/Pdt.G/2024/PN Smg

Semarang, 2 April 2024

Hal. : Jawaban Tergugat I atas Gugatan Penggugat

Dalam Perkara No. 151/Pdt.G/2024/PN Smg

Kepada Yth.,

Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili

Perkara No. 151/Pdt.G/2024/PN Smg

di Pengadilan Negeri Semarang

Jalan Siliwangi No. 512 Semarang, Jawa Tengah

Dengan hormat,

Yang bertandatangan di bawah ini, Taukhid Pujo Wardoyo, beralamat di Jalan Gemahsari VIII No. 290B Semarang, selaku Tergugat I dalam perkara No. 151/Pdt.G/2024/PN Smg, dengan ini menyampaikan jawaban atas gugatan Penggugat tertanggal 11 Maret 2024 sebagai berikut:

  1. Bahwa dalam pokok perkara no. 1 Penggugat tidak layak disebut sebagai ahli waris pasangan suami istri Soeharto dan Siti Parsiyah karena alasan perbuatan tidak bermoral sbb:
  1. Penggugat tidak mempunyai surat ahli waris yang sah yang dikeluarkan oleh Pengadilan.
  2. Penggugat tidak peduli dan tidak pernah merawat orang tua, almarhum Bapak Soeharto, selama sakit dari tahun 2017 sampai dengan meninggal tahun 2021.
  3. Penggugat berusaha meminta mobil Lexus Harrier pemberian Tergugat I kepada orang tua, almarhum Bapak Soeharto.
  4. Penggugat tidak mempunyai rasa terima kasih kepada Tergugat I karena telah dibantu pinjaman keuangan untuk membayar uang muka pembelian mobil pribadi merk Grand Livina sebesar Rp 80.000.000 dan tidak bisa mengembalikan uang pinjaman tersebut melainkan menyuruh Tergugat I menjual mobil milik orang tua almarhum Bapak Soeharto yang laku sejumlah Rp. 72.000.000.
  5. Penggugat tidak mempunyai rasa terima kasih kepada Tergugat I karena anak pertamanya telah dibiayai uang saku kuliah oleh Tergugat I dari tahun 1 Agustus 2017 sampai dengan 28 September 2020.
  6. Penggugat tidak mempunyai rasa terima kasih kepada Tergugat I karena telah dibantu keuangan untuk renovasi rumah Penggugat di Sidoarjo.
  7. Penggugat tidak mempunyai rasa terima kasih kepada Tergugat I karena telah dibantu menenangkan/menyembuhkan anak Penggugat yang mengalami sakit mental/jiwa.
  8. Penggugat telah memfitnah orangtuanya, almarhum Bapak Soeharto, dalam gugatannya telah sakit otak dan dungu sehingga tidak layak menandatangani perjanjian kredit.
  1. Bahwa dalam pokok perkara no. 4, Penggugat menyebutkan terdapat 4 perjanjian kredit baru. Hal itu tidak benar, karena sebenarnya hanya ada 2 perjanjian kredit yang kemudian dalam perjalanannya, kredit tersebut macet karena pada bulan Juli 2021 Tergugat I terserang penyakit Covid yang mempunyai gejala ‘long covid’ (gejala Covid timbul berbulan-bulan sampai 1 tahun) dan kedua orang tua, Bapak dan Ibu Soeharto, meninggal karena sakit Covid. Tergugat I tidak dapat meneruskan usaha dan tidak mampu membayar cicilan kredit, sehingga dalam rangka penyelamatan kredit bermasalah, BPR Agung Sejahtera selaku kreditur melakukan upaya restrukturisasi terhadap ketentuan yang terdapat dalam perjanjian kredit yang disebut dengan addendum. Istilah addendum dalam perbankan biasa digunakan sebagai upaya bank selaku kreditur untuk menyelamatkan kredit bermasalah dengan merestrukturisasi syarat-syarat dan ketentuan yang terdapat pada perjanjian kredit yang sudah ditandatangani dan berlaku bagi para pihak yang ada di dalamnya. Perubahan yang dimaksud tersebut harus dilakukan secara tertulis dan dapat dilakukan dengan adanya kesepakatan antara pihak bank dan debitur. Secara fisik addendum terpisah dari perjanjian pokoknya, namun secara hukum suatu addendum melekat dan menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan dari perjanjian awal/pokoknya. Sebuah addendum di perjanjian kredit ini tidak memerlukan pengikatan hak tanggungan, karena addendum bukan merupakan perjanjian kredit baru serta pengikatan hak tanggungan telah dilakukan pada saat perjanjian kredit pokoknya tanggal 29 April 2021. Tergugat I juga mengalami shock berkepanjangan karena merupakan anak yang paling dekat dengan bapak & ibunya. Tergugat I telah merawat almarhum bapak dan ibunya tanpa bantuan dari saudara kandung yang lain sejak tahun 2017. Tergugat I recovery sembuh dari Covid sangat panjang hampir 1 tahun. Dari sini mulai menumpuk semua cicilan tagihan keluarga pribadi Tergugat I mulai dari KPR, cicilan mobil (kredit-kredit pribadi ini diambil jauh sebelum kredit di BPR AS), dan membayar utang import mesin masker. Seiring pabrik juga sudah mulai menurun penjualannya, karena vaksin COVID sudah mulai digalakkan, sehingga masker kesehatan menjadi menurun penggunaannya, dan penjualan juga mulai menurun, ditambah Tergugat I belum bisa beraktivitas normal seperti sediakala. Hingga angsuran-angsuran di BPR AS menyedot tabungan pribadi keluarga Tergugat I dan istri, menjual mobil, perhiasan, dll. Keuangan/finansial keluarga semua tersedot untuk membayar cicilan di BPR AS yang agunannya adalah merupakan rumah harta warisan milik bersama (6 orang anak almarhum Bapak Soeharto), sedangkan saudara-saudaranya tidak mau tau kondisi ini, dimana aset warisan telah dibangun oleh Tergugat I atas perintah almarhum orang tua. Selain itu aset agunan dan rumah warisan sampai saat ini telah dikelola dan dikuasai Penggugat tanpa ada laporan keuangan. Aset warisan dan agunan disewakan Penggugat untuk rumah kontrak, kost-kostan, toko optik, dan warung seblak. Tergugat I tidak diiziinkan masuk ke rumah warisan tersebut dengan mengganti gembok pagar dengan gembok baru. Keluarga Tergugat I juga sudah merasa terganggu karena terus-terusan didatangi debt collector di rumahnya. Dikarenakan sudah terlihat tanda-tanda tidak berjalan lancar pembayaran angsurannya, terdampak dari wabah COVID, pihak BPR AS memberikan keringanan berupa penurunan suku bunga dan rentang waktu angsuran yang lebih panjang. Dalam hal ini, Tergugat I sudah memberitahukan kepada saudara-saudara kandung Tergugat I dan disetujui oleh mereka (ada bukti chat Whatsapp). Sebelum tandatangan kontrak restrukturisasi kredit tersebut, Tergugat I pernah menayakan prosedurnya ke BPR AS bahwa alurnya tidak diperlukan lagi tandatangan pemilik agunan, karena agunan sudah diikat saat tandatangan kontrak kredit pertama. Akhirnya cicilan Rp 35.000.000 turun menjadi sekitar Rp. 28.000.000.
  1. Bahwa dalam pokok perkara no. 7 dan 8, Penggugat melakukan fitnah yang menyebutkan Tergugat I memanfaatkan kondisi orang tua yang sakit untuk mau memberikan sertifikat sebagai jaminan kredit. Penggugat juga memfitnah bahwa orang tuanya sendiri, almarhum Bapak Soeharto mengalami sakti otak, dungu, dan mata gelap sehingga tidak cakap hukum menyetujui perjanjian kredit. Almarhum Bapak Soeharto memang mengalami sakit jantung, diabetes, dan sakit ginjal, namun almarhum Bapak Soeharto dirawat dengan baik oleh Tergugat I dari tahun 2017 sampai dengan 2021 sehingga masih bisa beraktivitas seperti orang sehat yang melakukan aktivitas sbb:
    1. Merenovasi rumah di Jalan Menoreh Raya No. 59 Semarang menjadi pabrik masker dan mendirikan PT Namira Mandiri Sejahtera dengan Bapak Soeharto sebagai Komisaris Utama dan Tergugat I sebagai Direktur. Tergugat I bertanggungjawab mencarikan sumber pendanaan untuk pembangunan pabrik masker termasuk mengambil kredit di BPR AS dengan menggunakan agunan milik orang tua.
    2. Menjadi mandor atau pengawas dalam pendirian pabrik masker di Jalan Menoreh Raya No. 59 Semarang, dimana almarhum Bapak Soeharto juga melakukan kegiatan membuat pembukuan anggaran belanja.
    3. Mendirikan Yayasan Cipta Kusuma Diharja dan menunjuk anak-anaknya sebagai pengurus yayasan.
    4. Menandatangani persetujuan kredit yang menggunakan agunan aset rumah di Jalan Thamrin No. 28 Semarang untuk digunakan sebagai modal pendirian pabrik masker.
    5. Mendirikan toko air Kangen Water dengan menunjuk Tergugat I sebagai penanggung dana.
    6. Membagikan bingkisan ramadan dan idul fitri setiap tahun kepada seluruh masyarakat di lingkungan RT setempat.

Dari fakta-fakta di atas, terbukti bahwa almarhum Bapak Soeharto masih dalam keadaan sehat dan mempunyai akal pikiran waras. Selain itu sang istri, almarhum Ibu Soeharto, juga dalam keadaan sehat sehingga mendukung semua kegiatan yang dilakukan oleh suaminya, almarhum Bapak Soeharto. Jika memang Bapak Soeharto sakit otak, dungu, dan mata gelap seperti yang difitnahkan oleh Penggugat, tentunya Ibu Soeharto tidak akan mendukung kegiatan yang dilakukan oleh Bapak Soeharto. Semua fakta di atas mempunyai bukti yang nanti akan ditunjukkan di persidangan.

  1. Bahwa dalam pokok perkara no. 9, 10, 11, 12, 13, 15, 16 perjanjian kredit No 7088-1/PK-ADD/AS/SMG/IV/22 dan 7089-1/PK-ADD/AS/SMG/IV/22 tertanggal 28 April 2022 bukan perjanjian kredit baru, perjanjian kredit tersebut merupakan restrukturisasi dan tidak memerlukan persetujuan ahli waris karena agunan sudah diikat hak tanggungan saat kredit tanggal 29 April 2021 dan pemilik jaminan yaitu Bapak dan Ibu Soeharto masih hidup. Pada bulan Juli 2021, Tergugat I terserang penyakit Covid yang mempunyai gejala ‘long covid’ (gejala Covid timbul berbulan-bulan sampai 1 tahun) dan kedua orang tua, Bapak dan Ibu Soeharto, meninggal karena sakit Covid. Tergugat I tidak dapat meneruskan usaha dan tidak mampu membayar cicilan kredit, sehingga dalam rangka penyelamatan kredit bermasalah, BPR Agung Sejahtera selaku kreditur melakukan upaya restrukturisasi terhadap ketentuan yang terdapat dalam perjanjian kredit yang disebut dengan addendum. Istilah addendum dalam perbankan biasa digunakan sebagai upaya bank selaku kreditur untuk menyelamatkan kredit bermasalah dengan merestrukturisasi syarat-syarat dan ketentuan yang terdapat pada perjanjian kredit yang sudah ditandatangani dan berlaku bagi para pihak yang ada di dalamnya. Perubahan yang dimaksud tersebut harus dilakukan secara tertulis dan dapat dilakukan dengan adanya kesepakatan antara pihak bank dan debitur. Secara fisik addendum terpisah dari perjanjian pokoknya, namun secara hukum suatu addendum melekat dan menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan dari perjanjian awal/pokoknya. Sebuah addendum di perjanjian kredit ini tidak memerlukan pengikatan hak tanggungan, karena addendum bukan merupakan perjanjian kredit baru serta pengikatan hak tanggungan telah dilakukan pada saat perjanjian kredit pokoknya tanggal 29 April 2021. Bahwa proses kredit di BPR Agung Sejahtera sudah dilakukan sesuai mekanisme hukum, dibuat dan ditandatangani pada tanggal 29 April 2021 oleh Dewi Puji Astutiningsih selaku Direktur Utama BPR Agung Sejahtera, Taukhid Pujo Wardoyo selaku debitur, Soeharto dan Siti Parsiyah selaku pemilik jaminan. Dan telah terbit sertifikat Hak Tanggungan dengan Nomor: 05155/2021, Peringkat Pertama, pada tanggal 14 Juni 2021 untuk menjamin pelunasan utang.

Selain itu adik-adik Penggugat, yaitu Yuliarti Kusumawardaningsih, Dwi Hartati Setiawan, dan Erna Agustanti juga telah menganjurkan Tergugat I meminta keringanan kepada bank.

  1. Bahwa dalam pokok perkara no. 17, Penggugat mengaku telah memberi bantuan pembayaran cicilan kredit, namun hal tersebut dilakukan karena terpaksa. Penggugat pada awalnya diajak musyawarah di rumah adiknya, dr. Kurniati Soeharto, di Grabag, Magelang untuk membahas penyelesaian cicilan kredit yang tidak mampu dibayar oleh Tergugat I, namun Penggugat sebagai kakak tertua tidak memberikan solusi malah menyobek-nyobek kartu remi dengan emosi mungkin karena tidak diajak mendirikan bisnis oleh almarhum orang tua. Saat itu Penggugat juga menyarankan kepada Tergugat I untuk datang ke kantor BPR AS dan menyuruh memberikan nomer telepon adik Penggugat, Yuliarti Kusumawardaningsih, supaya merasakan juga rasanya dikejar-kejar debt collector. Penggugat kemudian baru mau mengeluarkan uang untuk membantu membayar cicilan kredit ketika pihak bank menempelkan stiker aset dilelang di rumah agunan di Jalan Thamrin no. 28 Semarang yang pada saat itu dikontrakkan oleh Penggugat tanpa ada laporan keuangan kepada adik-adiknya. Pada saat itu Penggugat terpaksa harus ikut membantu membayar cicilan kredit karena sudah mempunyai perjanjian sewa dengan pihak penyewa rumah.
  2. Bahwa dalam pokok perkara no. 18, Penggugat dan adik-adiknya yang pada awalnya berjanji membantu membayar cicilan kredit ternyata mulai tidak konsisten. Mereka bersepakat membagi rata jumlah cicilan kepada ke 5 saudara, namun ternyata janji tersebut tidak ditepati. Dalam perjalanan selanjutnya yang terjadi adalah adik ketiga Penggugat, Yuliarti Kusumawardaningsih, dipecat dari pekerjaannya sehingga tidak bisa membantu cicilan. Adik kedua Penggugat, sering terlambat membantu cicilan sampai berminggu-minggu. Adik keempat Penggugat tidak mau membantu cicilan karena tidak mau terlibat riba, adik bungsu Penguggat mempunyai utang kartu kredit sehingga tidak bisa membantu cicilan. Sedangkan pihak BPR Agung Sejahtera selalu mengirim debt collector setiap bulan ke rumah Tergugat I sehingga membuat Tergugat I akhirnya harus membayar sendirian cicilan kredit, sedangkan Tergugat I tidak mampu membayar karena usahanya mengalami kebangkrutan dan pabrik ditutup karena sakit Covid-19.
  3. Bahwa dalam pokok perkara no. 23, Tergugat I menolak dengan tegas dalil Penggugat terkait tuntutan ganti rugi sebagaimana dengan Yurisprudensi MA No. 177.K/Sip/1975 tanggal 2 Juni 1971 yang menyatakan “Tuntutan Para Penggugat mengenai ganti rugi karena tidak dapat menjelaskan dengan lengkap dan sempurna tentang ganti rugi yang dituntutnya harus ditolak”, dan Yurisprudensi MA No. 51.K/Sip/1974 tanggal 29 Mei 1975 yang menyatakan “Dalam hal adanya tuntutan ganti rugi maka adanya kerugian untuk mana dituntut ganti rugi itu harus dibuktikan”, serta Yurisprudensi MA No. 459.K/Sip/1975 tanggal 18 September 1975 yang menyatakan bahwa “Penuntutan ganti rugi baru dapat dikabulkan apabila dapat dibuktikan secara terperinci adanya kerugian dan besarnya kerugian tersebut”. Dengan demikian jelas atas permohonan ganti kerugian tersebut tidak berdasar hukum sama sekali dan sudah sepatutnya ditolak oleh Majelis Hakim yang memeriksa perkara a quo.

Berdasarkan dalil-dalil dan uraian tersebut di atas, saya sebagai Tergugat I mohon kepada Ketua Pengadilan Negeri Semarang c.q Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara no. 151/Pdt.G/2024/PN Smg untuk berkenan menjatuhkan putusan dengan amar sebagai berikut:

1. Menolak gugatan Penggugat untuk seluruhnya.

2. Membatalkan gugatan Penggugat karena tidak mempunyai dasar yang akurat dan tidak sesuai fakta yang terjadi.

3. Memberi hukuman kepada Penggugat untuk membayar semua biaya perkara ini.

Atau apabila Majelis Hakim berpendapat lain dalam mempertimbangkan dan memutus perkara ini, Tergugat I mohon putusan yang seadil-adilnya sebagaimana layaknya suatu peradilan yang baik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *