Di perempatan Mega mall kota Jakarta menjadi tempat biasa mangkal pengemis buta setengah baya yang berprofesi sebagai penyanyi jalanan setiap hari. Dia menggelar sarung kain berwarna gelap sebagai tempat koin dan uang sumbangan dari pejalan kaki yang melihat iba kepadanya. Dengan mengenakan kacamata hitam, dan tas kecil yang ia bawa, beserta tongkat yang ia letakkan di sebelahnya, ia meniup harmonikanya, yang terkadang juga menyanyi menggunakan gitar kentrung kecil. Dia selalu mangkal di pinggir jalan itu pada jam-jam sibuk, seperti jam berangkat sekolah, jam berangkat ke kantor, jam pulang sekolah, dan jam pulang kantor. Pada jam-jam selain itu, si pengemis buta itu bisa dipastikan absen dari tempat mangkalnya.
“aduh,… kasian sekali pengemis buta itu. Setiap hari harus menyanyi di tepi jalan ini.” Gumam si Upik, seorang siswa SD Tunas Unggul yang setiap hari saat berangkat dan pulang sekolah ia selalu melewati perempatan Mega mall itu. Dan setiap hari Upik selalu melihat si pengemis itu.
Keesokan harinya, Upik menyisakan uang sakunya. Ia diberi ibunya tiga ribu rupiah setiap harinya. Seribu rupiah untuk ongkos transport bis pulang sekolah, karena berangkat sekolah ia selalu di antar sang Ayah yang sekaligus berangkat ke kantor. Seribu lima ratus rupiah biasa ia jajakan di kantin sekolahnya, dan sisa lima ratus rupiah, biasa ia sisihkan untuk celengan ayam di rumahnya. Upik anak yang gemar menabung. Sedari kecil ia diajarkan olah orangtuanya untuk menabung. Menabung di celengan untuk uang recehnya. Ketika sudah terkumpul banyak, setahun sekali ia menabung di bank, dengan rekening tabungan pelajarnya. Terkadang ia membawa bekal air minum dari rumah, sehingga, di kantin ia tak perlu njajan es. Hanya beli snack saja. Sehingga sisa uangnya dapat ia tabung.
Upik selalu diajarkan oleh orangtuanya untuk saling berbagi. Ia selalu rutin bersedekah ketika di masjid walaupun sekadar recehan seratus rupiah, ia kumpulkan sampai seribu rupiah, baru ia masukkan di kotak amal masjid seminggu sekali. Ketika ada uang PMI donor darah di sekolahnya, ia pun selalu rutin membeli sebulan sekali. Dan misinya hari itu adalah menyisihkan uang jajannya, untuk diberikan kepada pengemis yang biasa ia lihat ketika pulang sekolah di depan mega mall. Pada hari itu, sisa uang sakunya tinggal delapan ratus rupiah. Satu Koin lima ratus rupiah, dan tiga koin seratus rupiah. Lalu ia turun dari bis di perempatan mega mall, Dan ia taruh uang koin tiga ratus rupiah pada kain hitam yang di gelar pengemis itu, ketika itu si pengemis sedang meniup harmonikanya. Seketika itu si pengemis langsung menimpali ke Upik, bukan dengan kata terima kasih. “Walah jaman sekarang, kok ngasihnya tiga ratus rupiah. Uang koin seratus rupiah itu sekarang sudah ngga laku. Dasar anak-anak.”
Lalu, Upik terkaget mendengar si pengemis yang semula ia kira buta karena memakai kacamata hitam, “Kok bisa tau kalau aku ngasih tiga ratus rupiah ya?” Seketika itu Upik kembali dan memberi uang koin lima ratus rupiahnya, yang seharusnya untuk anggaran harian mengisi celengan ayamnya. “Ini pak, mudah –mudahan bermanfaat ya.” Upik segera pergi berlalu menuju halte bus, untuk melanjutkan perjalanannya ke rumah. Upik kapok dan tidak akan pernah memberinya lagi. “Ahh, kok begitu ya.. sudahlah, mending uang recehan seratusanku untuk ku berikan kepada yang lain yang sekiranya berhak atau kukumpulkan hingga satu hari nanti aku bisa menyalurkannya ke panti asuhan.”
Di dalam bis Damri, Upik tak habis fikir, ada saja tingkah orang jaman sekarang. Yang semula ia iba kepada pengemis yang semula ia fikir buta, ternyata hanya sebuah akal-akalannya agar dikasihani orang. Bagi anak seusia Upik, uang tiga ratus rupiah itu sangat berarti, setiap hari ia mengumpulkan receh demi receh uang pecahan seratus dari sisa uang saku yang diberi orang tuanya, agar setiap minggu ia dapat menyalurkannya untuk bersedekah. Tetapi mengapa bagi pengemis itu, uang tiga ratus seolah tidak bermakna, mungkin ia adalah salah seorang pengemis yang mempunyai tarif minimal khusus..